Kamis, 29 Oktober 2009

perubahan prilaku setelah diberi promosi kesehatan

TUGAS PROMOSI KESEHATAN








AKBID SARI MULIA BANJARMASIN
TAHUN AJARAN 2008/2009


Pendidikan kesehatan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik.

Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya. Dengan kata lain, dengan adanya pendidikan tersebut dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran.

Pendidikan kesehatan juga sebagai suatu proses dimana proses tersebut mempunyai masukan (input) dan keluaran (output). Didalam suatu proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya tujuan pendidikan yakni perubahan perilaku, dipengaruhi oleh banyak faktor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu proses pendidikan disamping masukannya sendiri juga metode materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang melakukannya, dan alat-alat bantu / alat peraga pendidikan. Agar tercapai suatu hasil yang optimal maka faktor-faktor tersebut harus bekerjasama secara harmonis.

Hal ini berarti bahwa untuk masukan (sasaran pendidikan) tertentu, harus menggunakan cara tertentu pula, materi juga harus disesuaikan dengan sasaran, demikian juga alat bantu pendidikan disesuaikan. Untuk sasaran kelompok, metodenya harus berbeda dengan sasaran massa dan sasaran individual. Untuk sasaran massa pun harus berbeda dengan sasaran individual dan sebagainya.

Dibawah ini akan diuraikan beberapa metode pendidikan individual, kelompok dan massa (public).

1. Metode Pendidikan Individual (Perorangan)

Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan untuk membina perilaku baru atau seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Misalnya seorang ibu yang baru saja menjadi akseptor atau seorang ibu hamil yang sedang tertarik terhadap imunisasi TT karena baru saja memperoleh / mendengarkan penyuluhan kesehatan.

Pendekatan yang digunakan agar ibu tersebut menjadi akseptor yang lestari atau ibu hamil tersebut segera minta imunisasi maka harus didekati perorangan. Perorangan disini tidak hanya berarti kepada ibu-ibu yang bersangkutan tetapi mungkin juga kepada suami atau keluarga dari ibu tersebut.

Dasar digunakannya pendekatan individual ini disebabkan karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru tersebut. Agar petugas kesehatan mengetahui dengan tepat serta membantunya maka perlu menggunakan metode (cara ini).

Bentuk dari pendekatan ini, antara lain :

1.1 Bimbingan dan Penyuluhan (Guidance and Counseling)

Dengan cara ini, kontak antara klien dengan petugas lebih intensif, setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek dan dibantu penyelesaiannya. Akhirnya klien tersebut akan dengan sukarela dan berdasarkan kesadaran, penuh perhatian, akan menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku).

1.2 Interview (Wawancara)

Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan. Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian atau kesadaran yang kuat. Apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.

2. Metode Pendidikan Kelompok

Dalam memilih metode pendidikan kelompok, harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran pendidikan.

2.1 Kelompok Besar

Yang dimaksud kelompok besar disini adalah apabila peserta penyuluhan itu lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar ini, antara lain :

2.1.1 Ceramah

Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ceramah :

2.1.1.1 Persiapan

Ceramah yang berhasil apabila penceramah itu sendiri menguasai materi dari yang akan diceramahkan. Untuk itu penceramah harus mempersiapkan diri dengan :
a. Mempelajari materi dengan sistematika yang baik, lebih baik lagi kalau disusun
dalam diagram atau skema.
b. Menyiapkan alat-alat bantu pengajaran misalnya makalah singkat, slide,
transparan, sound system, dan sebagainya.

2.1.1.2 Pelaksanaan

Kunci dari keberhasilan pelaksanaan ceramah adalah apabila penceramah tersebut dapat menguasai sasaran ceramah. Untuk dapat menguasai sasaran (dalam arti psikologis), penceramah dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Sikap dan penampilan yang meyakinkan, tidak boleh bersikap ragu-ragu dan
gelisah.
b. Suara hendaknya cukup keras dan jelas.
c. Pandangan harus tertuju ke seluruh peserta ceramah.
d. Berdiri di depan (di pertengahan), tidak boleh duduk.
e. Menggunakan alat-alat bantu (AVA) semaksimal mungkin.

2.1.2 Seminar

Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli atau beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat di masyarakat.

2.2 Kelompok Kecil

Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya kita sebut kelompok kecil. Metode-metode yang cocok untuk kelompok kecil antara lain :

2.2.1 Diskusi Kelompok

Dalam diskusi kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam diskusi maka formasi duduk para peserta diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat berhadap-hadapan atau saling memandang satu sama lain, misalnya dalam bentuk lingkaran atau segi empat.

Pimpinan diskusi / penyuluh juga duduk diantara peserta sehingga tidak menimbulkan kesan ada yang lebih tinggi. Tepatnya mereka dalam taraf yang sama sehingga tiap anggota kelompok ada kebebasan / keterbukaan untuk mengeluarkan pendapat.

Untuk memulai diskusi, pemimpin diskusi harus memberikan pancingan-pancingan berupa pertanyaan-pertanyaan atas kasus sehubungan dengan topik yang dibahas. Agar terjadi diskusi yang hidup, pemimpin kelompok harus mengarahkan dan mengatur sedemikian rupa sehingga semua orang dapat kesempatan berbicara sehingga tidak menimbulkan dominasi dari salah seorang peserta.

2.2.2 Curah Pendapat (Brain Storming)

Metode ini merupakan modifikasi metode diskusi kelompok. Prinsipnya sama dengan metode diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaannya pemimpin kelompok memancing dengan satu masalah kemudian tiap peserta memberikan jawaban-jawaban atau tanggapan (cara pendapat).

Tanggapan atau jawaban-jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart atau papan tulis. Sebelum semua peserta mencurahkan pendapatnya, tidak boleh diberi komentar oleh siapa pun. baru setelah semua anggota mengeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat mengomentari dan akhirnya terjadilah diskusi.

2.2.3 Bola Salju (Snow Balling)

Kelompok dibagi dalam pasangan-pasangan (1 pasang, 2 orang). Kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah, setelah lebih kurang 5 menit, tiap 2 pasang bergabung menjadi 1. Mereka tetap mendiskusikan masalah tersebut dan mencari kesimpulannya. Kemudian tiap 2 pasang yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya dan demikian seterusnya akhirnya terjadi diskusi seluruh kelas.

2.2.4 Kelompok Kecil-Kecil (Bruzz Group)

Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil (buzz group) kemudian dilontarkan suatu permasalahan sama / tidak dengan kelompok lain dan masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan dicari kesimpulannya.

2.2.5 Memainkan Peranan (Role Play)

Dalam metode ini, beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peranan tertentu untuk memainkan peranan, misalnya sebagai dokter puskesmas, sebagai perawat atau bidan dan sebagainya, sedangkan anggota yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka meragakan misalnya bagaimana interaksi / komunikasi sehari-hari dalam melaksanakan tugas.

2.2.6 Permainan Simulasi (Simulation Game)

Metode ini adalah merupakan gambaran antara role play dengan diskusi kelompok. Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli dengan menggunakan dadu, gaco (penunjuk arah), selain beberan atau papan main. Beberapa orang menjadi pemain dan sebagian lagi berperan sebagai nama sumber.

3. Metode Pendidikan Massa (Public)

Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau publik maka cara yang paling tepat adalah pendekatan massa.

Oleh karena sasaran pendidikan ini bersifat umum dalam arti tidak membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan sebagainya maka pesan-pesan kesehatan yang akan disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa tersebut.

Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menggugah awareness atau kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi, belum begitu diharapkan sampai dengan perubahan perilaku. Namun demikian bila sudah sampai berpengaruh terhadap perubahan perilaku adalah wajar.

Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa ini tidak langsung. Biasanya menggunakan atau melalui media massa. Beberapa contoh metode ini, antara lain :
a. Ceramah umum (public speaking)
Pada acara-acara tertentu, misalnya pada Hari Kesehatan Nasional, menteri
kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya berpidato di hadapan massa rakyat
untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan. Safari KB juga merupakan salah
satu bentuk pendekatan massa.
b. Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik TV
maupun radio, pada hakekatnya adalah merupakan bentuk pendidikan
kesehatan massa.
c. Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya
tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan melalui TV atau radio adalah
juga merupakan pendekatan pendidikan kesehatan massa. Contoh "Praktek
Dokter Herman Susilo" di televisi pada waktu yang lalu.
d. Sinetron "Dokter Sartika" didalam acara TV juga merupakan bentuk pendekatan
pendidikan kesehatan massa.
e. Tulisan-tulisan di majalah atau koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya
jawab / konsultasi tentang kesehatan atau penyakit juga merupakan bentuk
pendekatan pendidikan kesehatan massa.
f. Billboard yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan sebagainya adalah
juga bentuk pendidikan kesehatan massa. Contoh billboard "Ayo ke Posyandu".

Update : 14 Juli 2006

Sumber :

Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

hepatitis
JUMLAH PASIEN DENGAN HBSAG POSITIF DI PUSKESMAS MOJOAGUNG
In sekilas info on Juni 3, 2009 at 9:45 am


Adanya pelayanan pemeriksaan laboratorium untuk faal hati ternyata direspon positif oleh masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk memeriksaan hati atau livernya sudah cukup tinggi. Begitu juga promosi kesehatan menngenai penyakit-penyakit liver yang sudah dilakukan di masyarakat dari Tim UKM Puskesmas Mojoagung sangatlah membatu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan livernya.Hasilnya adalah ditemukan sejumlah pasien dengan HbSAg.
Bagaimana Pemeriksaan dan Jumlah Pasien dengan HbSAg ?
Pasien dengan HbSAg ini biasanya ditemukan secara sengaja atau tidak sengaja setelah pemeriksaan kadar SGOT/SGPT nya ketahuan meningkat, pasien ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan HbSAg. Atau kadang pasien dengan keluhan perut terasa tidak nyaman yang langsung dating ke bagian radiology untuk minta diperiksa USG dan ternyata hasilnya adalah hepatitis atau sirosis hepatic, pasien ini diminta untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang lain yaitu HbSAg dan SGOT/SGPT.
Informasi dari Bagian Laboratorium Puskesmas Mojoagung menyatakan bahwa ditemukan sebanyak 10 orang dengan HbSAg positif pada tahun 2008 dengan perincian 6 orang dari dalam wilker PKM Mojoagung, 2 orang dari PKM Gambiran dan 2 orang dari luar Kecamatan Mojoagung. Pada tahun 2009 (Jan- Mei) ini jumlah pasien dengan HbSAg positif sudah ditemukan sebanyak 12 orang dengan perincian 4 orang dari dalam wilker PKM Mojoagung, 3 orang dari Wilker PKM Gambiran dan 5 orang dari Luar Kecamatan Mojoagung. Menariknya 50% pasien dengan HbSAg positif pada tahun 2009 ini ditemukan pada bulan Mei kemaren.
DINAS KESEHATAN PROVINSI LAMPUNG
Tim Kesehatan Provinsi Lampung Di Sumatera Barat
20 Oktober 2009 14:24
Sebagai Upaya meringankan beban penderitaan para korban gempa Sumatera Barat, Pemerintah Provinsi Lampung telah memberangkatkan relawan yang terdiri dari barbagai unsur guna memberikan bantuan, tanpa kecuali Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Abdoel Muluk Provinsi Lampung.
Tim Kesehatan Provinsi Lampung diberangkatkan diberangkatkan dalam 2 kali pemberangkatan yaitu pada tanggal 3 Oktober 2009 dan 4 Oktober 2009 serta berakhir pada tanggal 9 Oktober 2009.
Lokasi Tim Relawan Provinsi Lampung terletak di Kecamatan Sungai Geringging Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat, terdiri dari :1 orang dokter spesialis orthopedi, 1 orang dokter spesialis bedah, 4 orang dokter umum, 12 orang perawat, 3 orang sopir dg 3 unit ambulance, 2 orang tenaga administrasi serta dilengkapi obat-oabatan dan kantong jenazah.
Upaya yang telah dilakukan Tim Kesehatan :
1. Pelayanan Kesehatan Statis yang dilakukan di beberapa Pos Kesehatan.
2. Pelayanan Kesehatan Mobile yang diharapkan dapat menjangkau para korban bencana yang terletak jauh dari Pos kesehatan statis.
Dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap para korban bencana gempa dari tanggal 3 s/d 9 Oktober 2009 tercatat sebanyak 2.896 orang baik rawat jalan dengan atau tanpa tindakan, rawat inap maupun yang dirujuk ke RS.
Peresmian Teater Nyamuk Sebagai Ikon Wisata Ilmiah
25 September 2009 11:18
Keberadaan Teater Nyamuk adalah upaya pendekatan kepada masyarakat untuk mempermudah akses hasil penelitian Badan Litbangkes sehingga berdaya guna dan berhasil guna, kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes), Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto, SH, Msi, Sp. F(K).

Hal itu disampaikan dalam acara peresmian Mosquito Teather (Teater Nyamuk) di Desa Babakan, Kec. Pangandaran, Kab. Ciamis Jawa Barat tgl. 19 Agustus 2009.
Teater Nyamuk merupakan ikon wisata ilmiah dengan kegiatan yang mengintegrasikan pembelajaran ilmu pengetahuan, teknologi dan seni bidang kesehatan dengan kegiatan pariwisata, tambah Prof. Agus Purwadianto.
Menurut Prof. Agus Purwadianto, kejadian penyakit yang ditularkan nyamuk di Indonesia masih tinggi. Bahkan beberapa nyamuk telah resisten terhadap insektisida dan beberapa jenis virus serta kuman penyebab penyakit juga resisten terhadap pengobatan. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah sudah mengembangkan vaksin dan obat-obatan untuk mengatasi penyakit tersebut.
Sebagai pendukung wisata ilmiah, gedung berkonsep minimalis dengan nuansa perpaduan hijau, merah dan oranye ini dilengkapi fasilitas sesuai kegiatan yang dilakukan di gedung tersebut.
Fasilitas itu terdiri dari gedung sinema berukuran 9x8 meter dengan kapasitas 120 orang, ruang multimedia yang berfungsi untuk proses editing dan dubbing, pusat pelayanan yang berfungsi sebagai tempat pelayanan informasi, penjualan tiket serta penjualan souvenir dan museum sebagai tempat penyimpanan koleksi dan dokumen.
Teater ini merupakan museum nyamuk pertama di Indonesia, dihiasi replikasi nyamuk ukuran besar pada dinding utamanya. Ada enam genus koleksi nyamuk yang dimiliki museum ini yaitu : Aedes, Culex, Anopheles, Mansonia, Armigeres dan Toxor. Masing-masing genus terdiri dari spesimen stadium telur, larva, pupa dan nyamuk.
Teater yang dibangun dengan dana APBN Departemen Kesehatan didukung penuh pengembangan dan pemanfaatannya sebagai ikon wisata ilmiah oleh Pemda Kab. Ciamis dan Pemda Provinsi Jawa Barat . Sinergi antar sektor menjadi ciri nyata dalam ikon wisata ilmiah ini, khususnya sektor kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan ekonomi, ujar Sugianto, Msc.PH, Kepala Loka Litbang P2B2 Ciamis.
Rangkaian kegiatan peresmian mengambil tema “Mari Kenali Nyamuk Agar Terhindar dari Penyakit”, diharapkan masyarakat mengenal lebih dekat tentang nyamuk terutama bionomik/perilaku hidup nyamuk dan berperilaku hidup bersih sehat supaya terhindar dari penyakit yang ditularkan oleh nyamuk seperti malaria, DBD, chikunguya, dan filariasis, tambah Sugianto.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi transmisi malaria (berisiko Malaria/Risk-Malaria), dimana pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006 sekitar 350 ribu kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-5223002 dan 52960661, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id
Badan POM RI luncurkan Laboratorium Keliling
25 September 2009 11:26
Jakarta, 7 September 2009 – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pagi ini meluncurkan delapan unit laboratorium keliling (mobile lab) di Jakarta guna terus meningkatkan pengawasan dan pengamanan obat dan makanan yang beredar di masyarakat.
“Selama ini BPOM secara proaktif melakukan pengawasan dan sampling makanan dan bahan makanan yang dijual di masyarakat untuk diuji keamanannya di lab kami. Tapi lagi-lagi karena berbagai hambatan seperti jarak dan kemacetan, aktivitas ini sering kali memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup tinggi. Dengan unit laboratorium keliling ini, kami bisa melakukan tes laboratorium dan mendapatkan hasilnya di tempat,” kata Kepala BPOM Husniah Rubiana.

Untuk tahap pertama, delapan unit laboratorium keliling ini akan disebar di Jakarta. Delapan unit Laboratorium Keliing BPOM tersebut juga sudah diberikan warna dan logo BPOM yang khas agar masyarakat bisa langsung mengenali.
Unit laboratorium keliling ini justru bukan dimaksudkan untuk menakut-nakuti para penjual makanan dan obat di pasar tradisional. Justru sebaliknya kami berharap masyarakat bisa semakin nyaman dan tenang mengkonsumsi makanan bila sudah melihat kehadiran mobil BPOM di situ karena berarti makanan dan obat yang dijual sudah layak saji dan layak konsumsi,” kata Husniah menambahkan.
Kehadiran Unit laboratorium keliling BPOM juga sangat relevan menyambut Hari Raya Idul Fitri dimana volume dan frekuensi belanja bahan makanan akan meningkat tajam. BPOM akan melakukan sosialisasi ke masyarakat khususnya para pedagang dan pembeli bahan makanan di pasar-pasar tradisional mengenai fungsi dan cara penggunaan unit laboratorium keliling ini. Yang pasti, unit laboratorium keliling BPOM ini dilengkapi dengan peralatan yang mendeteksi bahan bahan berbahaya di dalam makanan maupun kosmetik dan obat palsu.
Struktur dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering kali membeli obat dan makanan, atau bahkan mencampur obat dan makanan untuk meningkatkan rasa atau memodifikasi rupanya menjadi lebih menarik justru menjadi risiko tersendiri bagi penjual dan pembeli obat dan makanan di pasar-pasar tradisional di seluruh Indonesia. Namun karena sudah menjadi bagian struktur sosial masyarakat, BPOM terus mencari jalan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan agar masyarakat semakin nyaman dan tenang berbelanja di manapun di seluruh Indonesia.
“Ini adalah bagian dari fungsi pelayanan BPOM kepada masyarakat yang memang tidak mudah dan tidak murah untuk dilakukan dengan struktur geografis, demografis dan sosial masyarkat Indonesia. Namun tetap harus dicarikan solusinya secara kreatif.
Pelayanan Kesehatan Dalam Rngka Idul Fitri 1430 H
15 September 2009 14:52
Sebagai upaya meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka Idul Fitri 1430 H, Dinas Kesehatan Provinsi Lampung memberikan pelayanan Kesehatan di beberapa Pos Simpatik. Hal ini terlaksana bekerjasama dengan Lintas Sektor terkait.
Pos Simpatik tersebut terletak di Terminal Rajabasa, Hajimena dan Pasir Putih, yang masing-masing Pos dilengkapi dengan Tenaga Kesehatan dan Ambulance.
Pos Simpatik tersebut dibuka 24 jam sehari selama 16 Hari (H-7 s/d H+7) yang dimulai pada hari ini (14 September 2009). Sedangkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota lokasi Pos Simpatik berkoordinasi dengan Masing-masing Polres.
Antisipasi kemungkinan transmisi virus H1N1/H5N1 Dinas Kesehatan Provinsi Lampung telah mendistribusikan sebanyak 12 box @2.000 buah masker (Pelabuhan Bakauheni, Bandara Radin Inten, dan stock di Kabupaten Lampung Selatan), melalui KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) Panjang dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Selatan.
WASPADA FLU BARU H1N1
13 Agustus 2009 14:01
Zaman berubah, semua juga berubah. Begitu juga dengan penyakit. Kini muncul flu baru H1N1 atau yang lebih populer disebut flu babi/flu meksiko/swine influenza. Flu babi merupakan penyakit influenza yang disebabkan oleh virus influenza A subtype H1N1 sehingga gejalanya mirip dengan influenza biasa.

Penyakit ini sudah melanda Benua Amerika dan Eropa, serta beberapa provinsi di Indonesia. Meskipun sampai saat ini belum dilaporkan adanya kasus flu meksiko/flu babi di Provinsi Lampung, kita tetap harus waspada terhadap penyebaran penyakit ini dan mengenali gejala-gejalanya. Gejala flu babi yang biasa ditemukan pada manusia, yaitu :
- Demam lebih dari 38 derajat celcius
- Batuk
- Pilek
- Sakit tenggorokan
- Letih dan lesu
- Kadang disertai nyeri otot, mual, muntah, dan diare
- Sesak nafas
Penularan virus influenza A subtype H1N1 dapat terjadi melalui dua cara, yaitu :
1. Melalui kontak dengan babi yang terinfeksi atau lingkungan yang telah terkontaminasi oleh virus tersebut.
2. Melalui kontak dengan penderita flu babi.
Langkah-langkah pencegahan agar terhindar dari flu babi adalah sebagai berikut :
1. Mencuci tangan dengan sabun dan air bersih sesering mungkin, terutama setelah batuk atau bersin.
2. Menutup hidung dan mulut dengan tissue pada saat batuk atau bersin, kemudian membuang tissue tersebut ke tempat sampah.
3. Menjaga jarak minimal satu meter dengan orang yang sedang sakit flu.
4. Apabila mengalami gejala flu, segera periksa ke dokter, puskesmas, rumah sakit, atau klinik terdekat dan tinggal di rumah untuk istirahat. Hindari kontak dengan orang lain untuk mencegah penularan.
(Seksi Promosi Kesehatan)
Gladi Lapang Penanggulangan Bencana Provinsi Lampung
10 Agustus 2009 10:27
Dalam rangka sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya kesiapsiagaan untuk menghadapi terjadinya suatu keadaan daruat, maka pemerintah Provinsi Lampung melalui Sekretariat Penanggulangan Bencana pada tanggal 28 Juli 2009 telah mengadakan simulasi penanggulangan bencana gempa bumi dan kebakaran yang melibatkan unsur terkait termasuk masyarakat disekitar lokasi simulasi yaitu di Lapangan Sepak bola Keteguhan Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung.
Sebagai Inspektur Upacara pada pembukaan simulasi tersebut mewakili Gubernur Lampung adalah Inspektur Daerah Provinsi Lampung.
Masyarakat Dihimbau Waspada Influenza A H1N1
11 Juli 2009 23:51
Dirjen Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan (P2PL) Depkes Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K) menghimbau agar masyarakat tetap waspada dan tidak panik dengan merebaknya penyebaran virus Influenza A H1N1 di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam jumpa pers tentang perkembangan Influenza A H1N1 di Indonesia, Sabtu (4/72009) di Jakarta.
rof. Tjandra mengharapkan masyarakat untuk tetap waspada bila dirinya atau orang disekitarnya mendapat gejala flu seperti batuk, pilek dan demam, terlebih lagi jika orang itu baru kembali dari luar negeri atau ada kontak dengan orang yang baru kembali dari luar negeri. Masyarakat juga dihimbau untuk selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat dengan membiasakan diri mencuci tangan dengan sabun. Melaksanakan etika batuk dan bersin yang benar. Apabila sakit dengan gejala influenza supaya mengenakan masker dan tidak berdekatan dengan anggota keluarga yang lain dan segera menghubungi petugas kesehatan serta menghindari bepergian apabila sedang sakit flu, ujar Prof. Tjandra. Lebih lanjut dikatakan Prof. Tjandra, hingga hari Sabtu (4/7/2009) terdapat tambahan 12 kasus baru pasien positif H1N1 di Indonesia yang tersebar di Jakarta dan Bali.

Kedua belas pasien tersebut terdiri dari 8 orang WNI dan 4 orang WNA yaitu AR (L, 23 TH), RA (L, 10 bln), HR (P, 40 th), IG (L, 33 th), N (P, 34 th), BE (L, 50 th), TD (L, 65 th), F (L, 14 th), RW (L,23 th), BA (L, 22 th), JO (L, 43 th), dan NN. Dengan tambahan kasus baru tersebut jumlah kasus positif Influenza A H1N1 yang tercatat di Indonesia menjadi 20 orang.
Prof. Tjandra mengatakan sudah ditemukan penularan H1N1 antar manusia di Indonesia. Hal itu terjadi pada 2 dari 12 orang pasien baru tersebut. Lokasi penularan berada di daerah Jakarta, namun belum diketahui secara pasti oleh siapa dan dimana persisnya penularan tersebut terjadi.
Seluruh pasien positif H1N1 tersebut sampai saat ini sehat-sehat saja, tidak ada yang fatal, hanya batuk pilek biasa saja bahkan sebagian ada yang tanpa keluhan sama sekali. Seperti diketahui, 95% pasien di dunia ini tidak masuk rumah sakit sama sekali, ujar Prof. Tjandra.
Ditambahkan pula oleh Prof. Tjandra bahwa flu baru H1N1 ini cukup unik karena tingkat fatality-nya yang tinggi justru pada pasien yang berusia muda (20-30 tahun), sementara flu lain pada umumnya akan makin tinggi tingkat fatality-nya pada mereka yang berusia lanjut.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-52907416 – 19 dan 021-52921669, atau melalui alamat e-mail: puskom.depkes@gmail.com dan puskom.publik@yahoo.co.id
Peralatan Makan Melamin
30 Juni 2009 12:17
Peralatan makan melamin sudah menjadi sesuatu yang umum dimiliki oleh setiap rumah tangga. Selain karena sifatnya yang tahan pecah, peralatan makan melamin juga memiliki bentuk, warna, dan motif yang sangat beragam. Bahan melamin selain digunakan untuk peralatan makan orang dewasa, juga digunakan untuk peralatan makan bagi bayi.
Dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM, ditemukan 30 peralatan makanan bermelamin yang berbahaya karena terbukti melepaskan zat formalin. Zat ini bila masuk ke dalam tubuh berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, yaitu penyakit kanker.
Untuk itu, mengetahui produk-produk peralatan makan melamin apa saja yang berbahaya tersebut, dapat diunduh di http://www.pom.go.id/public/peringatan_publik/pdf/melamin.pdf
Puskesmas Kotabumi II (ISO 9001:2008)
24 Juni 2009 12:07
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung beserta seluruh jajaran mengucapkan selamat kepada :
PUSKESMAS KOTABUMI II
yang telah berhasil setelah melakukan Audit Eksternal ke 3 pada tanggal 22 Juni 2009 oleh Badan Sertifikasi SAI Global Jakarta, sehingga direkomendasikan untuk tetap berhak meraih Sertifikat ISO 9001 : 2008.
Terimakasih dan penghargaan setingi-tinginya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Utara yang senantiasa telah mendukung terwujudnya Puskesmas ISO Pertama dan satu-satunya di Provinsi Lampung.
Semoga Kabupaten/Kota lainnya dapat mengikuti keberhasilan Puskesmas Kotabumi II demi terwujudnya Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 dengan perspektif Kepuasan Masyarakat.
Program Jamkesmas Berhasil Hemat Uang Negara 1,4 Trilyun Rupiah
24 Juni 2009 10:52
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat ( Jamkesmas ) tahun 2008 yang dilakukan antara lain dengan mengirimkan tagihan (klaim) langsung dari kas negara ke rumah sakit ternyata berhasil menghemat (mengefisienkan) uang negara sebesar 1,464 trilyun rupiah. Oleh karena itu program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu dengan sasaran 76,4 juta jiwa ini akan dilanjutkan pada tahun 2009 dengan menggunakan manajemen yang sama seperti manajemen tahun 2008. Jamkesmas tahun 2009 dianggarkan dari APBN dengan jumlah yang sama tahun 2008.
Hal itu disampaikan Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) yang didampingi para pejabat eselon I dan II saat jumpa pers awal tahun di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009.
Dana Jamkesmas yang dikirim Depkes ke rumah-rumah sakit daerah yang melayani masyarakat miskin dan tidak mampu adalah dana bantuan sosial (Bansos), bukan pendapatan rumah sakit. Seharusnya dana Bansos itu digunakan langsung oleh rumah sakit untuk melayani masyarakat miskin dan tidak mampu. Jadi tidak benar bila Bansos dianggap sebagai pendapatan asli daerah (PAD), ujar Dr. Siti Fadilah Supari.
Masyarakat miskin di daerah yang tidak mempunyai Kartu Jamkesmas (di luar kuota Nasional) menjadi tanggungan pemerintah daerah. Masyarakat miskin tersebut mempunyai hak yang sama dalam pelayanan kesehatan dengan masyarakat miskin yang memiliki Kartu Jamkesmas. Namun dengan pembiayaan dari pemerintah daerah melalui APBD, tutur Menkes.
Siaga ( LevelIII) Gunung Anak Krakatau
23 Juni 2009 0:08
Berita Antara. (21-06-2009) Status Gunung Anak Krakatau (GAK) di perairan Selat Sunda hingga saat ini masih siaga atau level III sehingga masyarakat sekitar tetap diminta waspada.
Sampai saat ini pengunjung dan warga hanya diperbolehkan berada dalam radius dua kilometer dari titik letusan," kata Kepala Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten Anton Prambudi, Sabtu.
Anton mengatakan, sejak 6 Mei 2009 status gunung itu dinaikkan dari waspada atau level II menjadi siaga atau level III, kini kondisi Gunung Anak Krakatau berbahaya karena mengeluarkan lava pijar berupa batu dan kerikil yang suhunya berkisar 600-1.000 derajat celcius.
Oleh karena itu, hingga saat ini Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung memeberikan rekomendasi bahwa daerah aman berada dua kilometer dari titik letusan gunung berapi yang berada di perairan Selat Sunda.
"Saya mengimbau kepada pengunjung dan nelayan agar tidak medekati Anak Krakatau karena khawatir terkena lava pijar," ujarnya.
Menurut dia, aktiviats kegempaan Gunung Anak Krakatau sepanjang Sabtu ini mengalami penurunan dibandingkan dua hari lalu.
Saat ini, kegempaan mencapai 981 kali terdiri atas vulkanik dangkal sebanyak 116 kali, letusan 455 kali, tremor 274 kali, dan embusan 136 kali.
Sementara kegempaan vulkanik Gunung Anak Krakata, Jumat (19/6) sebanyakl 1.257 kali yakni vulkanik dangkal 157, tremor 377, letusan 452 dan embusan 271 kali.
Meskipun kegempaan mengalami penurunan, tetapi pihaknya tetap siaga mengingat terjadi peningkatan jumlah letusan dibanding dua hari yang lalu.
Untuk itu, tim pemantau tetap siaga serta saling berkoordinasi dengan tim lain yang ada di Banten, untuk saling memberikan informasi.
Sementara itu, saat ini kondisi Gunung Anak Krakatau masih diselimuti kabut tebal sehingga sulit mendeteksi secara visual.
"Saya berharap pengunjung dan nelayan tidak mendekati kawasan Gunung Anak Krakatau karena masih membahayakan keselamatan," katanya.
Lagi, Public Warning Badan POM ttg Kosmetika berbahaya
19 Juni 2009 10:18
Badam POM RI kembali mengeluarkan Public Warning Kosmetika yg mengandung bahan berbahaya seperti Marcury, Hidrokuinon, Asam Retinoat, Rhodamin B, dll.
Selengkapnya dapat diunduh di http://www.pom.go.id/public/peringatan_publik/pdf/Binder1.pdf
Pengembangan Desa Siaga (Gerakan Menuju Desa Sehat)
19 Juni 2009 9:09
Berdasarkan SK Menkes No. 564/Menkes/SK/VIII/2006 tanggal 2 Agustus 2006 tentang Pedoman Pengembangan Desa Siaga, maka Gubernur Lampung pada tanggal 3 Agustus 2006 telah mencanangkan Gerakan Menuju Desa Sehat (GMDS) di Kampung Astomulyo Kabupaten Lampung Tengah. GMDS merupakan istilah lain Desa Siaga khusus untuk Provinsi Lampung.
Target Nasional bahwa pada Tahun 2009, seluruh Desa/Kelurahan menjadi Desa Siaga atau melaksanakan Gerakan Menuju Desa Sehat. Berdasarkan Target tersebut, Provinsi Lampung kemudian menyusun rencana pencapaian program s.d Tahun 2009 sbb:

Rencana Pengembangan Desa Siaga (GMDS) Provinsi Lampung
Tahun 2006 s.d 2009
ENAM (6) STRATEGI INDONESIA DALAM KESIAPSIAGAAN PANDEMI INFLUENZA H1N1
19 Juni 2009 0:37
Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Swine Flu (Flu Meksiko) untuk mencegah pandemic influenza A H1N1 di Indonesia, pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI menetapkan 6 strategi Indonesia dalam kesiapsiagaan pandemi influenza sebagai berikut:
1. Penguatan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP):
Indonesia memiliki 48 kantor kesehatan pelabuhan dan sekitar 25 diantaranya
mempunyai akses internasional. Ada beberapa upaya penguatan yang dilakukan
di kantor kesehatan pelabuhan yaitu:
¬ Pemberlakuan Health Alert Card
¬ Penerapan radio pratique
¬ Kesiapan petugas dalam memantau penumpang yang datang
¬ Pemasangan thermal scanner
¬ Penyiapan alat pelindung diri (APD)
¬ Penyiapan klinik di kantor kesehatan pelabuhan dengan obat dan perlengkapannya
¬ Penyiapan sarana rujukan bila diperlukan

2. Logistik terutama obat dan APD
¬ Penyediaan obat tamiflu dalam jumlah yang cukup
¬ Pendistribusian sampai di tingkat puskesmas

3. Penyiapan Rumah Sakit
¬ Kesiapan 100 rumah sakit rujukan
¬ Ketersediaan obat
¬ Ketersediaan ruang isolasi
¬ Petugas kesehatan yang terampil
¬ Prosedur diagnosis dan terapi

4. Penguatan surveilans Epidemiologi
¬ Mengintensifkan surveilans Influenza Like Illness (ILI) di 20 puskesmas sentinel
¬ Mengintensifkan surveilans SARI di 15 Rumah Sakit sentinel
¬ Menambah lokasi sentinel ILI di 25 puskesmas baru
¬ Surveilans Pneumonia dan SARI di sarana kesehatan (Puskesmas & Rumah Sakit)
¬ Intensifikasi surveilans di pelabuhan laut dan udara, terutama pelabuhan/bandara
internasional
¬ Surveilans di masyarakat termasuk rumors verifikasi

5. Penguatan Laboratorium
¬ Mengintensifkan laboratorium regional
¬ Pemenuhan reagensia

6. Komunikasi Edukasi dan Informasi (KIE)
¬ Pembuatan spanduk di tempat‐tempat umum
¬ Pembuatan stiker/pamplet/brosur dan media komunikasi lainnya
¬ Melakukan jumpa press dan press release secara berkala
¬ Memberikan penjelasan ke masyarakat melalui berbagai media massa cetak dan
elektronik
¬ Pemberdayaan masyarakat melalui desa siaga
Pemberdayaan Masyarakat untuk Meningkatkan KADARZI
12 Juni 2009 11:02
Kadarzi (keluarga sadar gizi) merupakan salah satu upaya yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan kesehatan khususnya dan pembangunan masyarakat Indonesia umumnya. Upaya tersebut dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung dalam rangka percepatan 315 desa siaga pada 11 Kabupaten/Kota di Lampung.
Salah satu sasaran dari strategi Depkes adalah seluruh Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) tertuang dalam Kepmenkes RI No :564/Menkes/SK/VIII/2006.
Selanjutnya Pemerintah Daerah Kab/Kota hendaknya dapat mengembangkan upaya tersebut sehingga mejadi kegiatan berkelanjutan.
Tujuan : Meningkatkan kuantitas dan kualitas kader posyandu serta petugas pendamping kader kadarzi.
Materi :
1. Pedoman Kadarzi
2. Pedoman Kader Pendamping Kadarzi
3. Kampanye Kadarzi
4. Pedoman Pemantauan Pertumbuhan
Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2000 Puskesmas KOTABUMI II Lampung Utara
01 Juni 2009 12:44
dr. Hj.Maya Metissa
Manager
Puskesmas Kotabumi II berkeinginan menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 diawali dengan membangun komitmen bersama demi peningkatan mutu pelayanan.
eberhasilan penerapan ISO 9001:2000 tergantung kepada komitmen, bukan hanya ditingkat Top Management, termasuk juga Middle dan Lower Management. Dengan semangat , niat baik serta etos kerja yang tinggi, pada tanggal 14 Februari 2008 Puskesmas Kotabumi II berhasil meraih sertifikat Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 dari Badan Sertifikasi Internasional SAI Global.
Visi, Misi dan Kebijakan Mutu
Visi
Menjadi Puskesmas Terbaik dengan Pelayanan Prima di Propinsi Lampung
Misi
1. Meningkatkan kualitas pelayanan
2. Meningkatkan kesehatan masyarakat dan lingkungan
3. Meningkatkan kualitas SDM
Kebijakan Mutu
Untuk mencapai visi dan misi, Puskesmas Kotabumi II berkomitmen untuk melakukan peningkatan secara berkesinambungan demi tercapainya kepuasan masyarakat, dengan cara :
1. Meningkatkan kompetensi SDM pendukung layanan
2. Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan masyarakat dan lingkungan
3. Memberikan pelayanan yang prima
4. Meningkatkan peran serta masyarakat untuk menuju kemandirian hidup sehat secara pribadi maupun masyarakat
5. Menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 secara efektif dan efisien

Tujuan
Tujuan umum adalah terselenggaranya ISO 9001:2000 Puskesmas dalam rangka peningkatan manajemen mutu di Puskesmas Kotabumi II.
Tujuan khusus adalah :
Meningkatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan.
1. Meningkatkan kepuasan pelanggan / Konsumen Puskesmas
2. Meningkatkan citra Puskesmas
3. Meningkatkan daya saing
4. Memiliki dokumen mutu yang lebih baik
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penerapan ISO 9001:2000 di Puskesmas Kotabumi II meliputi : Medical Record, General Care Unit, Dental Care Unit, Mother & Children Care Unit, Supporting Services Unit Of Laboratory, Sanitation, Nutrition and Pharmacy.

Prinsip-prinsip Manajemen Kualitas
1. Fokus kepada pelanggan
2. Kepemimpinan
3. Keterlibatan Personil
4. Pendekatan proses
5. Manajemen dengan pendekatan sistem
6. Pengambilan keputusan dengan pendekatan fakta
7. Perbaikan berkesinambungan
8. Hubungan yang saling menguntungkan dengan pemasok

Manfaat Penerapan ISO 9001:2000
Terselenggaranya ISO 9001:2000 di Puskesmas Kotabumi II memiliki manfaat :
1. Kepuasan Pelanggan meningkat
2. Pengendalian mutu lebih sistematis
3. Koordinasi lebih baik
4. Ketidaksesuaian terdeteksi sejak awal
5. Konsistensi mutu lebih baik
6. Kepercayaan Pelanggan meningkat
7. Dokumentasi SMM lebih baik
8. Menurunkan biaya kegagalan mutu
9. Banyak peluang perbaikan
AUDIT EKSTERNAL SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001 : 2000 PUSKESMAS KOTABUMI II
Agus Darsono
Manager Representative
Audit eksternal dalam rangka sertifikasi SMM ISO 9001 : 2000 terhadap ruang lingkup pelayanan di Puskesmas Kotabumi II dilaksanakan pada tanggal 26 – 27 Desember 2007 oleh Badan Sertifikasi Internasional SAI GLOBAL. Perbaikan dan revisi terhadap beberapa temuan pada saat audit eksternal dilakukan dengan segala keterbatasan yang ada, hingga pada akhirnya berbuah manis dengan diraihnya Sertifikat Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2000 pada tanggal 14 Februari 2008.
Audit surveillance I dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2008, dengan hasil bahwa Badan Sertifikasi SAI GLOBAL tetap merekomendasikan kelanjutan sertifikasi SMM ISO 9001 : 2000 di Puskesmas kotabumi II.
Audit surveillance II dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2008, dengan hasil bahwa Badan Sertifikasi SAI GLOBAL tetap merekomendasikan kelanjutan sertifikasi SMM ISO 9001 : 2000 di Puskesmas kotabumi II.
Kuantitas minimal terhadap temuan minor pada saat audit surveillance I dan II berlangsung, menjadi dasar bagi SAI GLOBAL untuk menyatakan bahwa Puskesmas Kotabumi II sebagai salah satu Klien tingkat Puskesmas yang konsisten dan komitmen dalam upaya mempertahankan sertifikasi ISO 9001 : 2000.
(Agus Setiawan,Auditor SAI GLOBAL,Clossing Meeting, 11 Juni 2008).
Suatu Pembuktian bahwa komitmen, mulai dari Top Management, termasuk juga Middle dan Lower Management menjadi dasar bagi penyelenggaraan SMM
ISO 9001 : 2000.
Audit surveillance III rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 22 Juni 2009, mudah-mudahan dengan segala keterbatasan yang Kami miliki dan Kami rasakan, Kami masih tetap dapat memberikan hasil yang terbaik demi pelayanan optimal kepada masyarakat.
AUDIT INTERNAL SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001 : 2000 MENUJU VERSI 2008
PUSKESMAS KOTABUMI II
drg. Noor Afia Adi Surani
Lead Auditor Internal
Audit Internal adalah alat yang penting, karena memberikan penilaian yang independen dan objektif terhadap pemenuhan bisnis terkait dan persyaratan lainnya. Temuan berdasarkan audit internal dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan efisiensi bisnis, efektifitas, kinerja dan keuntungan.
Auditor Internal harus memiliki dan memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan oleh ISO 9001 : 2000. Tim Auditor Internal Puskesmas Kotabumi II telah memenuhi persyaratan tersebut, dan telah mengikuti serta Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Konsultan Sertifikasi dari AIMS pada tahun 2007. Kompetensi tersebut dibuktikan dengan sertifikat kelayakan sebagai AUDITOR INTERNAL QMS ISO 9001 : 2000 yang dimiliki oleh para Auditor.
Pengembangan ISO 9001 dari versi 2000 ke versi 2008, menuntut Tim Auditor Internal Puskesmas Kotabumi II harus memiliki kompetensi lebih, sesuai yang dipersyaratkan. Pada tanggal 1 – 2 April 2008, Tim Auditor mengikuti ujian sebagai Tim Auditor Internal QMS ISO 9001 : 2008. Berlangsung di Jakarta dan diselenggarakan oleh badan Sertifikasi SAI GLOBAL.
Tim Auditor Internal Puskesmas Kotabumi II dinyatakan lulus kompetensi dan dikualifikasikan sebagai Internal Auditor Sistem Manajemen Mutu yang telah diakui oleh Quality Society of Australia (QSA). Kompetensi yang dimiliki terdaftar dan terakreditasi di National Trainning Board (NTB). Pernyataan lulus tersebut dituangkan dalam bentuk Certificate of Attainment, khusus bagi Tim Auditor Internal yang dinyatakan lulus.
Beberapa kompetensi yang mampu dimiliki oleh Tim Auditor Internal :
1. Menggambarkan prinsip-prinsip dasar dan persyaratan audit internal.
2. Menganalisa persyaratan dalam organisasi dan untuk audit internal.
3. Merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan audit internal secara efektif.
4. Mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan hal-hal yang diperlukan dalam melaksanakan audit internal yang efektif.
Pengembangan PHBS di 5 Tatanan
01 Juni 2009 11:13
Upaya-upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sudah dilakukan dalam rangka perubahan perilaku masyarakat menuju Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil dari pembelajaran yang menjadikan seseorang dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya. Bidang PHBS yaitu :
- Bidang kebersihan perorangan, seperti cuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan sabun, mandi minimal 2x/hari, dll.
- Bidang Gizi, seperti makan buah dan sayur tiap hari, mengkonsumsi garam beryodium, menimbang berat badan(BB) dan tinggi badan (TB) setiap bulan, dll.
- Bidang Kesling, seperti membuang sampah pada tempatnya, menggunakan jamban, memberantas jentik, dll.
Menanamkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada setiap orang bukanlah hal yang mudah, akan tetapi memerlukan proses yang panjang. Setiap orang hidup dalam tatanannya dan saling mempengaruhi serta berinteraksi antar pribadi dalam tatanan tersebut. Memantau, menilai, dan mengukur tingkat kemajuan tatanan adalah lebih mudah dibandingkan dengan perorangan. Oleh karena itu, pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dilakukan melalui pendekatan tatanan, yaitu tatanan rumah tangga, sekolah, tempat-tempat umum, tempat kerja, dan institusi kesehatan.
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan hidup bersih dan sehat, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Syarat rumah tangga sehat yaitu :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan)
2. Memberi bayi ASI eksklusif
3. Menimbang bayi dan balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dgn air bersih, mengalir, dan sabun
6. Menggunakan jamban
7. Memberantas jentik di rumah
8. Makan sayur dan buah setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10.Tidak merokok di dalam rumah
Penerapan PHBS di sekolah merupakan kebutuhan mutlak seiring munculnya berbagai penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (6 – 10 tahun), yang ternyata umumnya berkaitan dengan PHBS. PHBS di sekolah merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru, dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat. Penerapan PHBS ini dapat dilakukan melalui pendekatan Usaha Kesehatan Sekolah. Manfaat PHBS di sekolah di antaranya :
- Terciptanya sekolah yang bersih dan sehat sehingga peserta didik, guru, dan masyarakat lingkungan sekolah terlindungi dari berbagai gangguan dan ancaman penyakit
- Meningkatnya semangat proses belajar-mengajar yang berdampak pada prestasi belajar peserta didik
- Citra sekolah sebagai institusi pendidikan semakin meningkat sehingga mampu menarik minat orang tua (masyarakat)
- Meningkatnya citra pemerintah daerah di bidang pendidikan
- Menjadi percontohan sekolah sehat bagi daerah lain

Syarat-syarat sekolah ber-PHBS yaitu :
• Mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan sabun
• Jajan di kantin sekolah yang sehat
• Membuang sampah pada tempatnya
• Mengikuti kegiatan olah raga di sekolah
• Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan
• Tidak merokok di sekolah
• Memberantas jentik nyamuk di sekolah secara rutin
• Buang air besar dan buang air kecil di jamban sekolah
Tempat-tempat umum merupakan sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta, atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan masyarakat, seperti sarana pariwisata, transportasi umum, sarana ibadah, sarana olahraga, sarana perdagangan, dsb.
PHBS di tempat-tempat umum adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat pengunjung dan pengelola tempat-tempat umum agar tahu, mau dan mampu untuk mempraktikkan PHBS serta berperan aktif dalam mewujudkan tempat-tempat umum yang ber-PHBS.
Melalui penerapan PHBS di tempat umum ini, diharapkan masyarakat yang berada di tempat-tempat umum akan terjaga kesehatannya dan tidak tertular atau menularkan penyakit. Syarat tempat umum yang ber-PHBS yaitu :
• Menggunakan air bersih
• Menggunakan jamban
• Membuang sampah pada tempatnya
• Tidak merokok
• Tidak meludah sembarangan
• Memberantas jentik nyamuk
+ Mencuci tangan dengan sabun dan air bersih
+ Menutup makanan dan minuman
PHBS di tempat kerja merupakan upaya memberdayakan para pekerja agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan PHBS serta berperan aktif dalam mewujudkan tempat kerja sehat. Penerapan PHBS di tempat kerja diperlukan untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan kesehatan pekerja agar tetap sehat dan produktif. Manfaat PHBS di tempat kerja diantaranya masyarakat di sekitar tempat kerja menjadi lebih sehat dan tidak mudah sakit, serta lingkungan di sekitar tempat kerja menjadi lebih bersih, indah, dan sehat. Syarat tempat umum yang sehat yaitu :
- Mengkonsumsi makanan bergizi
- Melakukan aktivitas fisik setiap hari
- Tidak merokok di tempat kerja
- Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
- Menggunakan air bersih
- Memberantas jentik di tempat kerja
- Menggunakan jamban
- Membuang sampah pada tempatnya
Institusi kesehatan adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah/swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, seperti rumah sakit, puskesmas, dan klinik swasta. PHBS di institusi kesehatan merupakan upaya untuk memberdayakan pasien, masyarakat pengunjung, dan petugas agar tahu, mampu, dan mampu mempraktikkan hidup perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan intitusi kesehatan ber-PHBS.
PHBS di Institusi Kesehatan sangat diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mencegah penularan penyakit, infeksi nosokomial dan mewujudkan Institusi Kesehatan yang sehat. Syarat institusi sehat yaitu :
- Menggunakan air bersih
- Mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan sabun
- Menggunakan jamban
- Membuang sampah pada tempatnya
- Tidak merokok di Institusi Kesehatan
- Tidak meludah sembarangan
- Memberantas jentik nyamuk
HLUN
26 Mei 2009 10:44
Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 29 Mei 2009 Tema "Sehat Produktif dan Sejahtera sebagai syarat pembangunan berkelanjutan".
Sub Tema :
1. Menuju orang tua teladan sepanjang masa
2. Menciptakan lingkungan sehat bagi Lansia
3. Bersama membangun kepedulian terhadap Lansia.
Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan RS
12 Juni 2009 10:12
Upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan di Puskesmas dan RS selalu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan perkembangan masyarakat, namun upaya tersebut tidak semulus yang diharapkan hal ini tidak lepas dari kondisi dan dinamika masing-masing Pemda Kab/Kota.
Puskesmas Kotabumi II sejak Desember 2007 telah dipersiapkan menjadi Puskesmas ISO Pertama di Lampung yang harus selalu didukung oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Utara agar sertifikat yang telah diterbitkan tidak ditarik kembali karena ketiadaan dana untuk melakukan surveylans audit terhadap perkembangan setiap 6 bulan 1 kali. Hal ini guna menjaga kondisi Puskesmas agar tetap berjalan dengan baik.
Sementara Rumah Sakit di masing-masing Kab/Kota juga berbenah diri dalam rangka Akreditasi bukan saja sebatas penampilan fisik tetapi juga administrasi dan pelayanan, tanpa kecuali RS Swasta.
Dalam rangka upaya menigkatkan mutu pelayanan di Puskesmas dan Rumah Sakit tidak akan berjalan dengan baik bila faktor eksternal juga kurang mendukung. Sementara penyedia layanan terkendala dengan minimnya anggaran untuk digunakan menyentuh faktor penunjang yang justru berdampak terhadap mutu pelayanan itu sendiri.
Misalnya : kebersihan mulai dari halaman ruang tunggu, ruang periksa, bahkan kamar mandi, dll.
Puskesmas dan RS sama-sama memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan namun berbeda dalam hal wilayah kerja. Puskesmas mempunyai wilayah kerja sedangkan rumah sakit tidak.
Dari awal sejarahnya, kata rumah sakit sendiri kita warisi dari zaman Belanda yaitu dari kata "ziekenhuis". Kata inilah yang menjadi acuan bagi penyedia jasa layanan kesehatan di Indonesia untuk diadopsi menjadi "Rumah Sakit", celakanya tidak semua orang menyadari bahwa hal inilah yang sering menjadi akar masalah di bidang pelayanan kesehatan. Tidak hanya orang awam yang tidak menyadari, bahkan tidak semua tenaga medis yang notabene lebih memahami perumahsakitan juga menyadari bahwa kerangka berpikir yang salah sering menjadi pemicu terjadinya pelayanan kesehatan yang buruk di rumah sakit.
Mulai dari dokter yang hanya memikirkan jumlah pasiennya ketimbang proses pelayanannya, sampai pada pasien yang lebih suka menyalahkan dokternya apabila penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Tidakkah kita semua sadar bahwa kekecewaan sering timbul dari cara berpikir yang salah, dan cara berpikir yang salah timbul dari kerangka pikirnya juga salah.
Padahal di Belanda sendiri ada kata Hospitaal yang juga memiliki arti yang sama, bahkan menjadi suatu ironi jika kita tahu sebenarnya kata Hospital (Bhs. Inggris) berasal dari kata hospicehospice ini juga menjadi asal kata Inggris hospitality yang berarti keramahtamahan. Tapi coba kita telaah, sudahkah semua rumah sakit menerapkan hospitality di lingkup kerja mereka? Bahkan ada yang berargumen bahwa rumah sakit bukanlah hotel yang bisa menerapkan asas hospitality, tapi syukurlah sekarang hampir semua rumah sakit mulai menyadari kekeliruan kerangka berpikir mereka yang lebih sering menganggap para pasiennya adalah "pesakitan" hingga mulai banyak rumah sakit yang melakukan perubahan pelayanannya menuju pelayanan prima (Service Excellence) demi mencapai kepuasan para pelanggannya. (bhs. Jerman) yang berarti tuan rumah.




Gunung Anak Krakatau SIAGA
12 Juni 2009 10:23
Letusan Gunung Anak Krakatau
di Peraiaran Selat Sunda, Minggu mencapai 27 kali sehingga status yang disampapikan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung Jawa Barat sudah menaikkan sejak 6 Mei 2009 menjadi "SIAGA" atau LEVEL III. karena itu sangat berbahaya bagi yang mendekati Anak Krakatau bila terkena lontaran bebatuan pijar.
Bencana Alam Puting Beliung dan Tanah Longsor
18 Mei 2009 12:14
Fenomena Alam telah mengakibatkan kerugian harta benda bahkan nyawa, seperti yang telah terjadi pada hari Sabtu tanggal 09 Mei 2009 kira-kira pada pukul 15.30 wib. Anggin kencang telah membuat Kota Agung porak-poranda. Jumlah korban meninggal 1 orang tertimpa pohon yang tumbang, sementara itu jumlah korban luka-luka 2 orang dilakukan rawat inap dan 9 lainnya rawat jalan. Puskesmas dan Rumah Sakit siaga dan Dinas Kesehatan Kab Tanggamus telah melakukan inventarisasi serta melakukan pemantauan. Rumah penduduk diperkirakan 350 unit rumah mengalami kerusakan utamanya pada bagian atap. Jumlah yang pasti mengenai kerusakan rumah dari rusak ringan, rusak sedang dan rusak berat masih dalam tahap inventarisir dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Pemda Provinsi melalui Dinas Sosial (10 Mei 2009) telah memberikan bantuan Logistik makanan berupa 5 ton beras, 3.200 bungkus mie instan, 1.500 kaleng sarden dan 300 bungkus roti kering juga 300 lembar tikar 300 selimut dan 20 tenda. Sedangkan tanah longsong terjadi di telah terjadi di Tembakak Kecamatan Karya Penggawa Kabupaten Lampung Barat, yang mengakibatkan terputusnya jalan yang menghubungkan Lampung dengan Bengkulu. Kejadian tersebut tidak menimbulkan korban jiwa. Sarana jembatan terputus yaitu jembatan Laai. Longsor terjadi pada hari minggu 10 Mei 2009 kira-kira pukul 13.00 wib. Pada kejadian bencana tersebut tidak ada sarana kesehatan yang mengalami kerusakan.




Protap Penanggulangan Flu Baru H1N1
09 Mei 2009 22:19
Bulan Mei ini Indonesia menjadi tuan rumah dua pertemuan internasional yaitu ADB Meeting di Bali tanggal 2-5 Mei 2009 dan World Ocean Conference (WOC) di Manado tanggal 11-15 Mei 2009. Dua event tersebut akan dihadiri ribuan peserta yang datang dari berbagai Negara, termasuk Negara yang saat ini terserang wabah Flu Baru H1N1 yang lebih popular disebut flu babi. Untuk mengamankan kedua event tersebut dan mengantisipasi agar flu baru H1N1 tidak menular ke Indonesia, Departemen Kesehatan telah bertindak cepat dan tepat dengan menetapkan langkah-langkah antisipasi dan prosedur tetap (Protap) pengendalian flu baru H1N1.
Demikian penjelasan Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) kepada para wartawan saat jumpa pers di kantor Departemen Kesehatan, Jakarta, 4 Mei 2009.
“Langkah-langkah antisipasi sudah diumumkan pada Jumpa Pers 28 April lalu, yang akan disampaikan sekarang adalah langkah-langkah yang sudah dilakukan Depkes dalam ADB Meeting dan WOC di Manado nanti “, ujar Dr. Siti Fadilah Supari.
Menurut Menkes, Depkes telah menetapkan prosedur tetap yang meliputi proses screening/penjaringan dan tata laksana di airport kedatangan serta penerimaan pasien di klinik maupun di rumah sakit.
Di airport kedatangan, penumpang yang dicurigai menderita Flu Baru H1N1 yang tertangkap oleh thermal scanner, akan diperiksa di tempat yang sudah disediakan yaitu di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Apabila memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, dapat dirujuk ke rumah sakit terdekat. Setiap pasien yang dicurigai (suspek) wajib mengikuti ketentuan yang berlaku di Indonesia secara ketat, agar jangan sampai virus berbahaya itu yang sampai saat ini dan mudah-mudahan seterusnya tidak ditemukan di Indonesia, kata Menkes.
Sedangkan proses penerimaan di klinik, pasien akan ditangani dokter dan tenaga kesehatan poliklinik yang sudah mendapat wawasan tentang Emerging Infectious Disease (EID) khususnya Flu Baru H1N1. Poliklinik dibawah kendali rumah sakit rujukan flu burung yaitu RS Sanglah di Bali dan RS Kandouw di Manado. Di ruang sidang juga disiapkan ruang isolasi khusus untuk proses screening dan untuk pemeriksaan lanjutan dirujuk ke RS Sanglah dan RS Kandouw.
Spesimen pasien yang dicurigai, diambil oleh RS Sanglah/ lab Biomolekuler FK Universitas Udayana dan RS Kandouw untuk dikonfirmasikan ke Litbangkes Depkes RI. Sambil menunggu ketentuan WHO untuk penanggulangan kasus Flu Baru H1N1, penderita dirawat sesuai prosedur yang berlaku. Penderita asing berhak mendapat second opinion dari negaranya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia, ujar Dr. Siti Fadilah.
Menkes menambahkan, semua petugas yang kontak dengan orang yang dicurigai terpapar Flu Baru H1N1 wajib menggunakan APD/ Alat Pelindung Diri. Pasien warga Negara asing yang dicurigai menderita Flu Baru H1N1 wajib melengkapi diri dengan foto copy paspor dan visa. Apabila perlu memberi pernyataan tertulis tentang riwayat kontak untuk dibuatkan form khusus dan wajib mengikuti ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Bila diperlukan, dokter di kedua RS tersebut dapat mengeluarkan surat keterangan medik terhadap proses penatalaksanaan penderita. Tim Dinas Kesehatan Bali dan Dinas Kesehatan Sulawesi Utara akan menilai seluruh proses setiap saat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tim Dinas Kesehatan berhak melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap setiap peserta dan setiap orang lainnya yang terlibat dalam kegiatan ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Pembiayaan yang timbul akibat ketentuan-ketentuan ini menjadi tanggungan pemerintah, jelas Menkes.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang adanya pinjaman luar negeri untuk mengantisipasi Flu Baru H1N1, Menkes menegaskan, sampai saat ini Departemen Kesehatan tidak mengajukan anggaran untuk hutang. Anggaran untuk Flu Burung untuk tahun ini masih dapat digunakan untuk Flu Baru H1N1. ”Jadi untuk H1N1 yang manifestasinya lebih ringan menurut saya kita maksimalkan saja apa yang sudah kita punyai H5N1”, tegas Menkes.
Menkes meminta masyarakat tetap tenang dalam menyikapi berita mengenai Flu Baru H1N1. Menjawab pertanyaan wartawan apakah sudah ditemukan kasus diantara peserta dan undangan yang akan menghadiri ADB Meeting, Menkes menyatakan bahwa ditemukan seorang jurnalis asal China yang akan meliput acara tersebut. Jurnalis itu terdeteksi lewat thermal scanner di Bandara Ngurah Rai, karena menderita panas, sakit tenggorokan, batuk dan pilek. Tetapi setelah dilakukan pemeriksaan spesimennya negatif dan sekarang sudah sehat kembali.
Menkes menambahkan, hingga saat ini, WHO tidak pernah mengumumkan berapa kematian yang disebabkan oleh virus H1N1 baru ini. Setelah kita hitung, angka kematian akibat virus H1N1 baru adalah 2,2 persen, lebih kecil dari pada angka kematian yang disebabkan H5N1/ Flu Burung yang mencapai 80 - 90 persen. Pandemi terjadi bila angka kesakitan dan angka kematian kasusnya tinggi. Sampai detik ini H1N1 belum ada di negara kita dan diharapkan H1N1 tidak akan hadir di negeri.
Mengenai penamaan virus yang berubah-ubah dari Flu Babi menjadi Flu Meksiko dan kemudian Influenza A H1N1, Menkes menyatakan bahwa pemberian nama bukan hal yang sederhana. Namun dengan diresmikannya GIS AID, suatu sistem baru yang baku di WHO, nama-nama virus akan menjadi jelas dan tidak membingungkan seperti saat ini.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-52907416-9 dan 52921669, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id.
Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN)
23 April 2009 16:13
Dalam rangka memperingati HLUN yang akan dicanangkan oleh Pemerintah pada tanggal 29 Mei 2009, berdasarkan UU RI No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dan PP No. 43 tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia.
Tema HLUN pada tahun 2009 adalah "Sehat Produktif dan Sejahtera sebagai syarat pembangunan berkelanjutan".
Sub Tema :
1. Menuju orang tua teladan sepanjang masa
2. Menciptakan lingkungan sehat bagi Lansia
3. Bersama membangun kepedulian terhadap Lansia.
Pemerintah Daerah agar dapat memeriahkan dan mendukung HLUN dengan melaksanakan kegiatan sbb di setiap wilayah kerja Puskesmas :
1. Melaksanakan senam lansia masal pada tanggal 24 Mei 2009
2. Pengobatan gratis kepada Lanjut Usia minimal pada tanggal 29 Mei 2009
3. Kegiatan lainnya yang meningkatkan kesehatan/perhatian kepada Lanjut usia.
Kunjungan WHO Representative to Indonesia dan Pusdatin Depkes RI
15 April 2009 10:43
Pada tanggal 19 s/d 21 maret 2009 lalu, tim dari WHO Representative to Indonesia dan Pusdatin Depkes RI melakukan kunjungan kerja ke RS Abdul Moeloek, RS A. Yani dan Puskesmas Kedaton, Bandar Lampung.Kunjungan tersebut difokuskan pada : manajemen medical record di sarana pelayanan kesehatan. Tindak lanjut yang perlu dilakukan dari kunjungan tersebut sebagai berikut:
1. Penataan sistem pencatatan dan pelaporan (manajemen medical record: mulai unit transaksi/pasien masuk sampai output laporan) di rumah sakit dan puskesmas
2. Penataan ruang yang nyaman, aman dan ergonomis bagi petugas rekam medik.
Jaring Asmara
13 April 2009 13:02
PENJARINGAN ASPIRASI MASYARAKAT
RENCANA PEMBANGUNAN TAHUNAN DAERAH BIDANG KESEHATAN TAHUN 2010
Pada hari Senin,6 April 2009 , Dinas Kesehatan Propinsi Lampung telah mengadakan Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam rangka Penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah Bidang Kesehatan yang diikuti oleh Lintas Pelaku (Stake Holder), yang terdiri dari :
1. Unsur Tim Ahli Propinsi Lampung
2. Unsur Dinas/Instansi/Lembaga terkait Tingkat Provinsi
3. Unsur Organisasi Profesi Kesehatan
4. Unsur Dinas/Instansi/Lembaga terkait Tingkat Kabupaten/Kota
5. Unsur Tokoh Masyarakat
6. Lembaga Swadaya Masyarakat
Penjaringan Aspirasi Masyarakat sebagaimana tersebut di atas telah menghasilkan rumusan :
1. Rencana Kerja bidang Kesehatan tahun 2010 difokuskan pada upaya akselerasi pencapaian Lampung Sehat 2010 dan antisipasi terhadap dampak krisis global yaitu pada peningkatan pelayanan pada masyarakat miskin (sharing jamkesmas).
2. Dalam rangka mendukung Lampung sehat 2010 perlu kesinergian dan keterpaduan serta keharmonisan pembangunan, pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan pemerintahan Provinsi dan kabupaten/kota, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian di semua unsur pelaksana pembangunan (pemerintahan dan stake holder).
3. Pemenuhan sumber daya (sarana prasarana, SDM dan Anggaran) secara bertahap dan berkesinambungan disemua unsur pelaksana pembangunan daerah.
Kesepakatan tersebut sebagai dokumen yang tidak dapat dipisahkan dari Rencana Pembangunan Tahunan Daerah bidang Kesehatan tahun 2010.


INOVASI PUSKESMAS MOJOAGUNG DALAM MENGOLAH LIMBAH SAPI MENJADI BIOGAS DI DESA MURUKAN
In sekilas info on Agustus 26, 2009 at 9:51 am


Kepala Puskesmas (dr. Lani) & Tim berkunjung ke rumah salah satu warga Desa Murukan (bu. Rumadi)

Pada Bulan Juli 2007, Puskesmas Mojoagung mendapat pasien dengan kasus cacing tambang yang kesemuanya berasal dari Desa Murukan Kec. Mojoagung Kab. Jombang dan bekerja sebagai peternak sapi perah, kemudian dengan hasil pemeriksaan laboratorium 1 orang anemis dengan Hb 5 g/dl.
Hal inilah yang mendorong Kepala Puskesmas Mojoagung pada Bulan Agustus 2007 bekerjasama dengan Tim Dokter Muda FK UNAIR melakukan



di Lokasi Proses BIOGAS
penelitian kepada peternak sapi perah di Desa Murukan, sekaligus meneliti tingkat pengetahuan dan perilaku mereka yang berhubungan dengan faktor resiko kecacingan.


Proses II BIOGAS
Dari hasil pemeriksaan feces responden 13,5 % positif mengandung telur cacing yang berasal dari jenis


hookworm atau cacing tambang, 86,5 % sisanya negativ (tidak ditemukan telur cacing hookworm).
Untuk meminimalisir limbah sapi, Puskesmas Mojoagung bekerjasama dengan


Proses Pembuangan
Camat Mojoagung, Dinas Peternakan Kab. Jombang dan Desa Murukan mengusulkan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kab. Jombang (DKLH) untuk mengolah limbah sapi menjadi BIOGAS. Hal ini oleh pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kab. Jombang (DKLH) ditanggapi positif namun pihak warga Desa Murukan harus menyediakan lahan.


Output dari BIOGAS
Pada Tahun Anggaran 2008, BIOGAS dibangun di Desa Murukan oleh Dinas Pemukiman dan Pengembangan Wilayah ( Dinas KIMBANGWIL ) Kab. Jombang yang bias digunakan oleh masyarakat Murukan sampai sekarang.
Updated & Photo by : Abdul Aziz, AMd.Per.Kes.

Sabtu, 03 Oktober 2009

“Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”itulah slogan dari Bung Karno

SEJARAH PROMOSI KESEHATAN DI INDONESIA

ERA PROPAGANDA DAN PENDIDIKAN KESEHATAN RAKYAT

(Masa Penjajahan dan Awal Kemerdekaan sampai sekitar Tahun 1960 an)
Asal muasalnya itu dari negeri yang mentoleransi sikap “anti-islam” nyaitu negeri? yupz tul begete. negeri Belanda, untuk kepentingan mereka sendiri, membentuk Jawatan Kesehatan Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808. Itu terjadi pada waktu pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendels, yang terkenal dengan pembuatan jalan dari Anyer sampai Banyuwangi, yang membawa banyak korban jiwa penduduk. Pada waktu itu ada tiga RS Tentara yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan pada tahun 1820. Pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut. Pada permulaannya, perhatian hanya ditujukan kepada kelompok masyarakat penjajah (Belanda) sendiri, beserta para anggota tentaranya yang juga meliputi orang pribumi. Sedangkan usaha untuk mempertinggi kesehatan rakyat secara keseluruhan baru dinyatakan dengan tegas dengan dibentuknya Jawatan/Dinas Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Sedangkan pelayanan kesehatan yang mula-mula dilakukan adalah pengobatan dan perawatan (upaya kuratif), melalui RS Tentara.
Pada waktu itu sebagian besar rakyat di pedesaan masih sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, kepercayaan akan tahayul, sedangkan pengobatan lebih percaya pada dukun. Ibu-ibu pada waktu melahirkan bayinya juga lebih banyak ditolong oleh dukun. Kondisi hygiene-santasi masih sangat buruk, dan berobat ke dokter masih menimbulkan rasa takut. Banyak penyakit timbul karena pola hidup yang tidak bersih dan tidak sehat. Pada waktu itu sering terjadi wabah malaria, kolera, sampar, dan cacar. Di samping itu juga sering terjadi wabah busung lapar di daerah-daerah tertentu. Sedangkan penyakit frambusia/patek/puru, kusta dan tuberkulosis merupakan penyakit rakyat. Usaha preventif pertama yang dilakukan adalah pemberian vaksin cacar yang hanya dilakukan dalam kelompok terbatas. Usaha lainnya yang sebenarnya tertua usianya adalah pengasingan para penderita kusta, tetapi itu lebih sebagai usaha pencegahan penularan semata-mata. Selain itu juga ada kegiatan pengasingan para penderita sakit jiwa, yang hanya dilakukan terhadap mereka yang berbahaya bagi masyarakat sekelilingnya.
Dengan adanya wabah kolera, pada tahun 1911 di Batavia dibentuk badan yang diberi nama “Hygiene Commissie” yang kegiatannya berupa: memberikan vaksinasi, menyediakan air minum dan menganjurkan memasak air untu diminum. Perintis usaha ini adalah Dr. W. Th. De Vogel. seterusnya pada tahun 1920 diadakan jabatan “propagandist” (juru penyiar berita) yang meletakkan usaha pendidikan kesehatan kepada rakyat melalui penerbitan, penyebar luasan gambar dinding, dan pemutaran film kesehatan. Usaha ini karena penghematan dihentikan pada tahun 1923.“Medisch Hygienische Propaganda”

Pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Kegiatan asalnya itu berupa pemberantasan cacing tambang di daerah Banten. Bentuk usahanya dengan mendorong rakyat untuk membuat kakus/jamban sederhana dan mempergunakannya. Lambat laun pemberantasan cacing tambang tumbuh menjadi apa yang disebut“Medisch Hygienische Propaganda”. Propaganda ini kemudian meluas pada penyakit perut lainnya, serta melangkah dengan penyuluhan di sekolah-sekolah dan pengobatan kepada anak-anak sekolah yang sakit. Timbullah gerakan, untuk mendirikan “brigade sekolah” dimana-mana. Hanya saja gerakan ini tidak lama usianya.
Baru saja pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas Kuratif tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam hubungan usaha higiene ini perlu disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari Rocckefeller Fundation (Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai 1939, dengan menitik beratkan pada Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat. Ia mengangkat kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak informasi tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan (cacing tambang, malaria, tbc.). Ia mengadakan pendekatan dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan seperti ini nanti dikenal dengan nama “pendekatan edukatif”). Yang menonjol pada waktu itu adalah penggunaan media pendidikan (booklets, poster, film dsb) dan juga kunjungan rumah yang dilakukan oleh petugas sanitasi yang terdidik.

Nah,, Sebagai pelaksana kegiatan pendidikan kesehatan dalam bidang Hygiene dan Sanitasi, seorang dokter pribumi bernama Dr. Soemedi, kemudian mendirikan Sekolah Juru Hygiene di Purwokerto. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Dr. R. Mochtar yang kemudian menjabat sebagai Kepala Bagian Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda Dienst). Sehubungan dengan karya atau usaha Dr. Hydrick itu, Dr. R. Mochtar mengemukakan sbb.:

“Selama penyelidikan itu, diadakan penerangan kepada penduduk tentang penyakit cacing dengan menggunakan film, dan gambar-ganbar sorot. Hasil penerangan itu begitu besar, hingga terjadilah keyakinan, bahwa mungkin sekali kepada penduduk diberikan pengetahuan lebih lanjut tentang kesehatan itu dan tentang penyakit dengan jalan mengadakan propaganda tentang kesehatan dan organisasi pekerjaan hygiene secara seksama.

Kemudian timbul suatu pekerjaan secara teratur dalam lapangan Medisch Hyg. Propaganda dan hygiene yang seksama di daerah-daerah desa, dibawah pimpinan dokter-dokter. Suatu daerah percontohan diadakan di wilayah Kabupaten Banyumas . Disamping itu diadakan suatu sekolah Mantri Kesehatan.
Berkat kegiatan mereka jang mendjalankan tugasnja dalam lapangan tersebut, maka pekerdjaan tadi dalam arti sebenarnyja mendjelma sebagai suatu pendidikan tentang kesehatan kepada rakyat bukan saja suatu medisch hygiensche propaganda.
Meskipun para pegawai acapkali menghadapi orang-orang jang salah faham tentang pekerjaan itu dan mengalami berbagai penghinaan, akan tetapi dengan penuh keyakinan tentang kesucian pekerjaan itu, mereka menjalankan tugasnya, sehingga pendidikan kesehatan rakjat itu memperoleh tempat dalam usaha Pemerintahan dalam lapangan kesehatan rakjat, bahkan sejak pecahnya revolusi pada tahun 1945 di Indonesia telah dibangun urusan hygiene desa atas dasar pendidikan kesehatan rakyat.
Perang dunia ke II mengakibatkan datangnya zaman baru. Arus gelombang gerakan kesehatan rakyat di dunia telah juga meliputi Indonesia. Di Indonesia filsafat kesehatan yang dianjurkan oleh W.H.O. itu diterima pula dan dijadikan dasar dalam gerakan kesehatan rakyat di Indonesia. Oleh karena itu dapat diramalkan, bahwa pekerjaan Pendidikan Kesehatan Rakyat itu terus menerus akan memperoleh perhatian besar dari pemerintah, maupun masyarakat. Filsafat yang diandjurkan oleh W.H.O. itu ialah, bahwa kesehatan itu adalah :

“a state of complete physical, mental and social wellbeing and not merely the absence of disease or infirmity”(Suatu keadaan sempurna mengenai tubuh, rohani dan sosial, bukan saja tidak ada penjakit, uzur arau cacad).

Riwayat Kesehatan Rakyat memperlihatkan, bahwa pada permulaannya Usaha Kesehatan Rakyat itu ditujukan kepada usaha menyehatkan lingkungan hidup dan pemberantasan penjakit; usaha itu didjalankan untuk rakyat dengan jika perlu menggunakan juga undang-undang.
Akan tetapi dalam bentuk Usaha Kesehatan Rakyat yang paling baru, usaha-uaaha itu dijalankan untuk rakyat dengan ikut sertanya rakyat. Ini berarti bahwa penyelenggaraanUsaha Kesehatan Rakyat itu membutuhkan juga gerakan rakyat ke jurusan tadi. Hal ini sungguh lebih sukar daripada menjalankan usaha itu tidak dengan syarat bahwa rakjat juga harus ikut mengadakan inisiatif.
Inisiatif rakyat tadi perlu dibangunkan dengan jalan pendidikan, agar rakyat dapat mengerti dan suka sama-sama bekerja dengan pemerintah untuk keperluan mereka sendiri. Bantuan rakyat itu harus berdasarkan atas inteligensi”.

(R.Mochtar, M.D.,M.P.H. –1954, tulisan sudah disesuaikan dengan ejaan baru)



Pendidikan Kesehatan Rakyat

Dalam tulisannya tersebut, Dr. R. Mochtar jelas memberikan gambaran betapa penting arti Pendidikan Kesehatan Rakyat dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam Kesehatan Rakyat, yang sejak sebelum Hydrick, yaitu 1911, sudah mulai digalakkan oleh pemeritah Belanda. Ada bebarapa pokok penting yang dapat diangkat dari tulisan Dr. R.Mochtar, yaitu :


  1. Pendidikan Kesehatan Rakjat (PKR) sudah dirasakan pentingnya sejak permulaan abad ke XX, namun direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata baru dalam tahun 1911, yang dikenal dengan nama Medisch Hygienische Propaganda.

  2. Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) terkait pada program kesehatan, yaitu Hygiene dan Sanitasi lingkungan (PKR bukan suatu program yang berdiri sendiri)

  3. Walaupun Pendidikan Kesehatan merupakan bagian dan kegiatan terintegrasi dalam program-program kesehatan, namun hal ini perlu ditangani secara “professional”. Untuk ini perlu organisasi/unit kerja khusus yang menangani Pendidikan Kesehatan, dan diperlukan pula tenaga terdidik atau terlatih. Dalam hal ini tenaga sanitasi, disiapkan untuk mampu memberikan pendidikan tentang kesehatan dan sanitasi kepada masyarakat desa, disertai alat/media pendidikan (Audio Visual Aid ). Tenaga “Health Educators” ini bekerja dengan penuh keyakinan dan dedikasi.


Pada waktu itu sudah ada anggapan bahwa Pendidikan Kesehatan tidak diperlukan, jika masyarakat telah maju. Hal ini tidak dibenarkan oleh Dr.R.Mochtar, karena kenyataan memperlihatkan bahwa di negara-negara yang telah majupun kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat masih diperlukan dan dilaksanakan. Cara pendekatan, metodologi serta tehnologi yang dipergunakan disesuaikan dengan kemajuan masyarakat setempat.
Sedangkan Dr. J. Leimena (1952) mengangkat beberapa prinsip “pioneering job” Dr. J.L. Hydrick, khususnya yang berkaitan dengan pentingnya health education, sbb.:
Principles : The idea underlying the organization of this intensive hygiene work was the belief that if health education could instill in the people an understanding of the fundamental rules of hygiene and a realization of the importance and necessity of healthful habits of life, many diseases and condition might be brought under control and in time might be eradicated.
Purpose : The purpose of the work is to awaken in the people a permanent interest in hygiene and stimulate them to adopt habits and to carry out measures which will help them secure health and remain healthy.
Cooperation of the people: In order to secure the cooperation of the people, health education work must propose practicable measures, so that the people will be able to give cooperation. Further it is of the greatest importance that not only the children be taught hygiene and health, but that also the adults be taught at the same time, so that each group will support the other. This cooperation is very valuable.
The spirit of the approach : …They should be lead, not driven. They should be stimulated and lead to express a desire to live more hygienically. It is the task of the health worker to create the desire.
A subject with which to begin : ….to begin with an attempt to bring about in the people an understanding of the fundamental facts involved in the cause, transmission and prevention of a wide spread chronic disease.
….if the people can be taught that they themselves can carry out certain simple measures which will help them to avoid one of the chronic diseases, they will learn to live more hygienically and thus build up their resistance to many other diseases.

Laying the foundation for general hygienic work: If this new sanitary habits become permanent, then there has been laid the foundation upon which general hygiene work can be built

…..It was therefore not intended that the Division of Public Health Education should conduct only a campaign against soil and water pollution, but it should thereby lay a foundation for a broad general campaign for hygiene by teaching the dangers of the pollution of soil and water.

Memaknai apa yang diuraikan dalam kutipan tersebut di atas, ada contoh menarik. PT Unilever dalam rangka mempromosikan produksinya berupa sabun mandi dan pasta gigi, sering mengadakan bioskop keliling dengan layar tancap. Pada zaman belum ada televisi, bioskop semacam ini sangat digemari oleh masyarakat, terutama di pedesaan. Di sela-sela pertunjukan film dengan cerita tertentu sering diselipkan pendidikan/penyuluhan kesehatan. Yaitu dengan selipan slide film yang antara lain menunjukkan tokoh kartun yang memerankan petugas laboratorium yang sedang meneropong secawan air mentah dengan mikroskop. Melalui alat itu terlihat bahwa air mentah itu banyak mengandung kuman atau bakteri dengan berbagai bentuk yang berkeliaran, berjingkrak-jingkrak dan menari-nari di dalam air tersebut. Adegan berikutnya adalah air di cawan itu langsung diminum oleh tokoh kartiun yang lain dengan akibat beberapa lama kemudian merasakan sakit perut dan beberapa kali buang air besar. Lalu dijelaskan oleh narrator dari slide film tersebut itulah akibatnya apabila kita minum air tanpa dimasak lebih dahulu. Sang narrator menganjurkan agar air sebelum diminum agar dimasak lebih dahulu. Kemudian ditunjukkan slide film berikutnya bahwa melalui mikroskop terlihat bahwa kuman-kuman itu pada mati dan tidak berkeliaran lagi dalam air yang sudah dimasak. Sang narrator menjelaskan bahwa air yang sudah dimasak aman dari gangguan penyakit. Dari silide film sederhana ini ternyata banyak penduduk pedesaan yang memasak air sebelum diminum.

“Prevention is better than cure”

Usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif, lambat laun berkembang pula kearah preventif. Sebagian dari usaha kuratif diserahkan pada “inisiatif partikelir” (1917 – 1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heils), perusahaan perkebunan. (Dr.J.Leimena, 1952). Dalam tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat.
Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan dengan demikian meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (productie capaciteit) .
Penelitian dalam bidang bakteriologi dan epidemiologi menambah luas wawasan pengetahuan tentang sebab penyakit menular dan cara pencegahannya, seperti, cholera, desentri, typhus. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang penyakit rakyat, seperti TBC, frambusia, cacing tambang, malaria dsb. Agar masyarakat sadar dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan upaya peningkatan kualitas kesehatannya, maka sudah pada tempatnya jika informasi terkini mengenai perkembangan dalam bidang kesehatan dapat disalurkan ke masyarakat, seperti penyebab penyakit, cara penangulangannya atau cara pencegahannya. Disinilah Pendidikan Kesehatan dapat mewujudkan perannya dengan jelas.
Apa yang telah dirintis oleh Hydrick tersebut kemudian ternyata dilanjutkan oleh Pemeritah (Belanda). Perhatian Pemerintah Belanda terhadap usaha preventif dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, tindakan dan peraturan (perundang-undangan). Motto yang berbunyi “Prevention is better than cure” diwujudkan dalam berbagai kegiatan a.l. :


  • vaksinasi cacar, typus, cholera, desentri, pes

  • pendaftaran kelahiran, kematian

  • pelaporan tentang penyakit menular, sakit jiwa

  • pengawasan : air minum, pabrik, tempat pembuatan makanan dan minuman, saluran limbah ait/riolering, pembuangan sampah, perumahan.

  • Termasuk upaya pendidikan kepada rakyat tentang peraturan dalam pemeliharaan kesehatan diri dan lingkungan.


Dengan demikian upaya pencegahan semakin dipandang sebagai usaha yang penting, demikian pula upaya pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

Dengan pecahnya Perang Dunia ke II dan pendudukan Jepang (1942 –1945) maka semua sistem pemerintahan praktis mengalami disorganisasi, karena semua usaha ditujukan untuk kepentingan perang (Pemerintahan dan orang-orang Jepang). Pendidikan, ekonomi, kehidupan sosial, kesehatan amat sangat terpuruk. Sumber daya alam dan sumber daya manusia, semua dikerahkan untuk kepentingan Jepang. Dimana-mana hanya terlihat kemiskinan, penderitaan, kelaparan, dan penyakit. Hidup masyarakat sangat tertekan. Situasi ini berlangsung sampai tahun 1945, saat berakhirnya Perang Dunia ke II. Pada tahun 1945 Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan serta memperjuangkannya dengan melawan tentara sekutu (Amerika dan Inggris) dan Belanda yang ingin memperoleh kembali supremasi penjajahannya di Indonesia.
Disorganisasi Usaha Kesehatan Masyarakat yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah kacau, berlangsung terus dalam periode revolusi fisik (1945 – 1949). Banyak fasilitas Kesehatan tidak dapat dipergunakan karena rusak, bahkan para petugas kesehatan pun banyak yang meninggalkan posnya, bergabung dalam barisan gerilyawan melawan Belanda, Amerika dan Inggris. Dalam kaitan itu perlu dicatat bahwa banyak tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang menjadi pejuang dan di antaranya ada yang gugur di medan perang, atau menjadi korban perang.
Dalam periode revolusi fisik itu (Agustus 1945 – Desember 1949), masih ada dua sistem pemeritahan, yaitu Belanda yang berpusat di Jakarta, dan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Dengan demikian maka selama 8 tahun (1942 – 1949), Indonesia mengalami masa yang sangat memprihatinkan. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak dapat dipergunakan, karena rusak, ditinggalkan, bahkan para petugas kesehatanpun meninggalkan posnya untuk turut bergabung dengan para gerilyawan. Obat-obatan didaerah Republik juga sulit.
Baru setelah penyerahan Kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintah memberikan perhatian pada kesehatan rekyat. Pemerintah (RI) juga memberikan perhatiannya pada kesehatan masyarakat di desa. Pada waktu itu dikembangkan Usaha Pembangunan Masyarakat Desa yang antara lain melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Pada waktu itu ada yang disebut Gerakan Kebersihan, Pekan Kerja Bakti, dll. Diadakan pula Usaha Kesehatan di sekolah-sekolah, yang berkaitan dengan kebersihan diri dan lingkungan, perbaikan gizi, dll. Bahkan di masa masih bergolak (1948) sudah didirikan sekolah untuk penyuluh kesehatan di Magelang dan dibuat dua daerah percontohan, yaitu di Magelang dan Yogyakarta.



Empat Sehat Lima Sempurna dan “Bandung Plan”

Pada sekitar tahun 1950 an itu masalah gizi cukup menonjol. D VALUES ditentukan tingkat keadaan gizi dengan menggunakan indeks. Dengan demikian dapat ditentukan keadaan gizi: kurang, minimal, normal, atau optimal. Golongan gizi minimal oleh Prof. Dr. Poerwo Soedarmo disebut golongan “tidak sakit dan tidak sehat”.jadi mhidup segan mati pun tak mau..yach sejenis peribahasa gitu. Sementara itu “kwashiorkhor” dan “xerophthalmia” sebagai masalah gizi pda golongan anak para sekolah mendapat banyak perhatian. Selain penyelidikan secara mendalam, usaha perbaikan dilakukan melalui penyuluhan gizi dan penggalian sumber makanan bernilai gizi.
Penerangan kepada masyarakat dilaksanakan melalui kursus yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi, maupun melalui pers dan radio. Pada waktu itu diperkenalkan semboyan atau pesan : “Empat Sehat Lima Sempurna”, sesuai dengan pola makanan Indonesia. Pesan tersebut berhasil disebar luaskan dan menjadi populer. Pesan tersebut juga banyak terpampang di dinding-dinding sekolah. Pengertian semboyan tersebut ternyata berhasil dihayati masyarakat. Pesan itu sangat efektif dan mudah dihafal, bahkan masih relevan sampai sekarang.
Berlanjutnya pada sekitar tahun 1951, oleh Dr. J. Leimena dan Dr. Patah diperkenalkan “Konsep Bandung” atau “Bandung Plan”, yang menggambarkan perpaduan antara upaya kuratif dan preventif. Konsep tersebut sebenarnya tidak lain dari konsep Communiyty health, yang merupakan dasar bagi pengembangan Puskesmas, yang kemudian menjadi pembuka program kesehatan masyarakat desa dan upaya pendidikan kesehatan masyarakat secara luas. Dengan demikian masyarakat pedesaan akan mempunyai akses lebih dekat ke Pelayanan Kesehatan. Hal ini dianggap penting, karena sebagian besar masyarakat Indonesia ada di pedesaan, dan di masa lalu masyarakat desa kurang mendapat perhatian dalam pelayanan kesehatan.kira-kira menurut anda kenapa?
Program pembangunan kesehatan untuk periode 10 tahun (1950-1960) telah digariskan dalam konperensi Kementerian Kesehatan tahun 1952 di Jakarta. Isi program mencakup kebijaksanaan umum dan khusus. Usaha kuratif dan preventif yang ditempuh sesuai dengan rumusan WHO mengenai kesehatan, yaitu: “a state of complete physical, mental and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity”. Tujuan pemerintah adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Indonesia untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia agar memiliki kemampuan kerja semaksimal mungkin.



Kesehatan Masyarakat Desa (KMD)

Pada sekitar tahun 1956, dibentuk Unit Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan Kesehatan Rakyat (KMD/PKR). Prof. Dr. dr. Sulianti Sarosa (alm), yang biasa disebut dengan ”dr Sul” ditetapkan sebagai pimpinan unit tersebut. Menurut beliau, titik berat usaha kesehatan masyarakat adalah pada usaha preventif. Namun istilah preventif ini masih kurang dipahami secara tepat oleh masyarakat, bahkan seringkali dikira bahwa usaha preventif hanya meliputi penerangan-penerangan kesehatan atau usaha imunisasi saja. Yang diharapkan dan dianggap penting oleh masyarakat adalah ’pengobatan’ atau usaha kuratif.
Sebenarnya yang dimaksud dengan usaha preventif adalah bahwa upaya kesehatan yang dijalankan tidak semata-mata untuk penyembuhan yang sakit, tetapi lebih pada upaya untuk mencegah timbulnya penyakit serta mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (promotif). Hal ini berarti bahwa usaha-usaha pengobatan ringan perlu dilakukan agar penyakit tidak bertambah parah, juga termasuk pengobatan dalam rangka memberantas penyakit menular yang dilakukan secara sistematis.

Berdasarkan riwayat penyakit tersebut, maka usaha-usaha kesehatan preventif yang dapat dilakukan adalah :
  1. Pendidikan Kesehatan kepada Masyarakat (Health Education)

  2. Perbaikan Makanan Rakyat

  3. Perbaikan Hygiene lingkungan hidup

  4. Kesejahteraan Ibu dan Anak

  5. Dinas Kesehatan Sekolah

  6. Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Public Health Nursing)

  7. Usaha Pengobatan

  8. Pemberantasan Penyakit endemis dan epidemis

  9. S t a t i s t i k

  10. Laboratorium Kesehatan

Lebih lanjut dr Sul mengatakan bahwa tujuan Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat adalah :

Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) Model Lemah Abang

Berhubung pada waktu itu (dan sampai sekarang sich)sebagian besar penduduk hidup di pedesaan, maka usaha-usaha kesehatan terutama ditujukan kepada masyarakat desa, selain karena disebabkan usaha kesehatan belum merata sampai ke pelosok-pelosok. Konsep yang dianut oleh seluruh dunia ialah bahwa sebaiknya usaha-usaha kesehatan itu dijalankan secara terintegrasi dan koordinasi serta perlu mengikut sertakan masyarakat secara aktif pada penyelenggaraan usaha-usaha kesehatan tersebut. Untuk melaksanakan rencana kesehatan masyarakat tersebut maka Kementerian Kesehatan waktu itu, telah mengadakan percontohan didaerah Bandung yang disebut dengan Bandung Plan dan tepat dengan waktu dimulainya Program Nasional Pembangunan Masyarakat Desa dalam bulan Agustus 1956.
Percontohan Usaha Kesehatan Masyarakat Desa (KMD) dimulai dari Kabupaten Bekasi pada 1956. Di sini diadakan kursus-kursus atau latihan mengenai usaha KMD untuk segala jenis tenaga kesehatan dari seluruh Indonesia. Disamping KMD di Bekasi, di setiap propinsi juga diadakan daerah percontohan KMD untuk dijadikan tempat pelatihan bagi tenaga kesehatan setempat. Daerah-daerah percontohan lain adalah di : Bojongloa (Bandung), Sleman (Magelang), Godean (Yogjakarta), Mojosari (Surabaya), Metro (Lampung), Kasemen (Denpasar), Kotaraja (Banda Aceh), Indrapura (Medan), dan Barabai (Banjarmasin). Pada waktu itu tenaga-tenaga yang akan diterjunkan ke masyarakat dilatih dahulu secara intensif dalam suatu pelatihan atau kursus yang diberi nama Pendidikan Kesehatan pada Rakyat (PKR).
Khusus Daerah Percontohan KMD/PKR Kecamatan Lemah Abang, Bekasi, dipersiapkan sebagai Daerah pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam bidang Rural Health and Health Education. Tujuan diadakannya Daerah Percontohan KMD/PKR Lemah Abang adalah : “Menjadikan Daerah itu sebagai contoh sistem kerja dan pengelolaan program Kesehatan Masyarakat Desa, oleh suatu Tim Kesehatan Desa (Rural Health), dan juga sebagai daerah pelatihan lapangan (field training) tenaga-tenaga kesehatan (medis, para medis)”.
Tim KMD/PKR Lemah Abang terdiri dari petugas kesehatan yang bertugas sebagai full timer dan merupakan “administrative staff” dalam bidang-bidang :

  • Kuratif – dokter selaku pimpinan Tim, pimpinan proyek

  • Beberapa Penilik Kesehatan yang bertugas dalam : Public Health Administration dan Statistik, Hygiene dan Sanitasi Lingkungan

  • Gizi (Nutrition)

  • Public Health Nursing

  • Pendidikan Kesehatan (Health Education).

Selain dari itu ada tenaga-tenaga lapangan seperti (nah disini nich tugas qt nak akbid sebagai balon alias bakal calon) bidan, pembantu bidan dan beberapa sanitarians.

Dapat dikemukakan bahwa Staf KMD/PKR secara keseluruhan, sebelum ditugaskan dalam pos masing-masing, baik di Dep.Kes. sebagai staf Bagian KMD/PKR, maupun di Lemah Abang, sebagai Team Staff lapangan, semua mendapat pendidikan dan pelatihan khusus di Luar Negeri dalam disiplin profesi masing-masing dalam konteks Kesehatan Masyarakat. Sekembali masing-masing ke tanahair, masih ada tahap pembinaan intensif dari Kepala Bagian KMD/PKR yaitu oleh Ibu Dr. J. Soelianti Saroso, mengenai program Rural Health, serta tentang cara dan mekanisme kerja dalam Tim. Staff Meeting dilakukan secara teratur (hampir setiap hari) di Bag. KMD/PKR, Dep.Kes., dengan penugasan-penugasan khusus, sebelum ke Lemah Abang. Dalam kesempatan pertemuan seperti ini laporan lisan tentang pelaksanaan tugas dan masalah-masalah juga dibicarakan bersama. Cara ini menimbulkan rasa kebersanaan, rasa tanggung-jawab bersama, rasa persaudaraan, lebih-lebih bagi mereka yang memang harus tinggal di Lemah Abang.
Beberapa hal yang dapat diutarakan sebagai pengalaman yang membantu dalam membentuk Tim KMD/PKR Lemah Abang yang solid dan handal a.l. adalah :
  • adanya organization and staff development planning yang solid (Tingkat Pusat)

  • Adanya well planned staff preparation, development, and placement (Tingkat Pusat)

  • Adanya regular Lemah Abang team staff meeting, dan keterbukaan (lokal), setiap hari Senin sebelum kelapangan.

  • Adanya technical supervision and guidance (dari Pusat-Bgn KMD/PKR)melalui berbagai jalur seperti :

    • Kunjungan lapangan ke desa-desa, dan dialog langsung dengan petugas lapangan dan PEMDA setempat.

    • Pertemuan/rapat dengan administrative Team staff Lemah Abang. Pertemuan seperti ini biasanya dihadiri pula oleh staff Bgn KMD/PKR dari berbagai displin dan bersifat edukatif.

  • Pertemuan non-formal (social gathering) yang sewaktu-waktu diselenggarakan Kepala Bagian KMD/PKR untuk seluruh staf, membantu menambah erat hubungan sosial antar-staf.

Pembentukan dan pengembangan Daerah Percontohan Lemah Abang mendapat bantuan tehnis dari badan Internasional, dengan penempatan Team Konsultan (full tmer) di lokasi untuk bidang-bidang : kuratif (dokter), Environment Sanitation, Public Health Nursing (semuanya dari US-AID) dan Health Education (dari WHO). Team consultant ini masing-masing didampingi oleh local national technical counterpart, sebagai Tim KMD/PKR. Untuk Public Health Administration & Statistics tidak ada consultant tehnisnya.
H.E. Consultant, Mr. Calhoun dalam masa penugasannya pernah mengadakan penulusuran jejak karya Hydrick di wilayah Banyumas yang didampingi Sdr. TarzanPanggabean Bsc, Penilik Kesehatan yang bertugas dibidang Health Education di lapangan. Keberadaan dan bantuan tehnis dari para konsultan Luar Negeri membantu upaya meningkatkan mutu kinerja local national staff. Transfer of knowledge and technology tentang cara kerja dalam Team, penggunaan alat-alat bantu dalam melaksanakan Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat, cara-cara pendekatan masyarakat dsb. adalah hal yang dialami langsung, di diskusikan dan di analisa bersama. Dengan cara “learning by doing”, maka pemahaman dan penghayatan tentang Health Education in rural areas dan role of Health Educator as a member of a Rural Health Team, dapat secara langsung diterapkan. Masing-masing counterpart mampu menampung, menyaring, memilih, mengolah, meresapkan dan memanfaatkan masukan-masukan yang diperoleh dari konsultan-konsultan asing dalam upaya memperkuat dan meningkatkan mutu profesinya dalam rangka pengembangan program KMD/PKR.
Tidak dapat disangkal kebenarannya bahwa kehidupan Tim yang cukup dinamis ini, diliputi juga oleh adanya “nuansa dominasi profesional”. Ini dapat menimbulkan arus ketegangan dikalangan Tim, dan merusak “Team Spirit”, jika kesadaran para anggota Tim akan makna pentingnya keberadaan Daerah Percontohan ini tidak kuat, dan roda kepemimpinannya lemah. Dominasi profesional juga dapat diamati dikalangan foreign consultants. Jika local administrative staff sebagai technical counterpart terpengaruh, maka hal ini dapat membahayakan hubungan sosial antar-staf dan pada akhirnya membuyarkan fungsi Tim. Selain dominasi professional, maka sikap perilaku yang dapat juga melemahkan fungsi Tim ialah adanya “individual vested interest” anggota Tim, yang dapat memicu timbulnya sikap kecurigaan antar-disiplin. Disinilah diperlukan adanya leadership yang objektif, kuat dan mampu menjaga keseimbangan hubungan sosial antar-disiplin, intra-disiplin dan intra-Team. Jika local conflicting situation and conflicting interest tidak dapat teratasi setempat, maka posisi kepemimpinan untuk memecahkan masalah, diangkat ke tingkat Departemen(Pusat), yaitu oleh Bagian KMD/PKR.

Peranan Health Education Staff

sama halnya tujuan Pendidikan pada umumnya, yaitu menjadikan orang itu dewasa, memiliki tanggung-jawab untuk diri sendiri dan lingkungan sosialnya, serta mampu mengambil keputusan yang bijaksana, maka Health Education sebagai proses yang terarah, menjadikan orang itu “dewasa”, mampu meningkatkan taraf kesehatan diri sendiri, keluarga dan lingkungannya atas kesadaran diri tentang pentingnya kesehatan dan melaksanakan pola hidup sehat atas upaya dan kekuatannya sendiri.
Health Education “mengolah” pola pikir orang, agar ia dapat berpikir rasional, objektif , mampu secara sadar mewujudkan pengetahuan tentang kesehatan kedalam kehidupan sehari-hari, bahkan dapat mentransfer pengetahuannya juga kepada orang lain. Para pertugas kesehatan di lapangan dibina sedemikian rupa, agar mampu mengembangkan “critical mind”-nya. Adakalanya penerapannya dirasakan sebagai “mengganggu” disiplin kesehatan lainnya. Ini kemudian dapat meninbulkan social conflicts dalam Team.
Conflicting ideas, opnion, interest, dalam suatu Tim, selalu dapat terjadi, namun yang perlu diperhatikan ialah bawa hal ini merupakan “ingredients” dalam kehidupan Tim, yang dapat menambah ke-matangan dan kedewasaan team sebagai suatu Kelompok yang anggota-anggotanya bervariasi. Penting dalam hal ini adalah adanya “team spirit”, dan sikap toleransi, objektif dalam melihat atau menanggapi masalah, peka terhadap kondisi lingkungan, dan responsive serta kreatif dalam mencari penyelesaian yang dapat memberikan rasa puas bagi seluruh anggota Tim.
Pengalaman sebagai “grassroot level worker” dan sebagai anggota Rural Health & Health Education Team, telah menempa spiritual maturity, dan lebih peka terhadap kemungkinan timbulnya benturan antar-anggota Tim. Dalam menghadapi foreign consultants, maka kita perlu memperkuat posisi kita sebagai nasional counterpart, dengan lebih memperhatikan kepentingan program nasional. Sedapat mungkin dapat mengendalikan pemikiran-pemikiran yang sekiranya dapat menghambat atau mengalihkan arus dan arah perkembangan program.
Dapat dikemukakan bahwa sasaran Health Education bukan hanya masyarakat saja, tetapi juga para petugas kesehatan. Tujuan tentu berbeda. Bagi masyarakat, diharapkan agar mereka sadar akan pentingnya kesehatan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat lingkungannya, dan bagi Petugas kesehatan, agar mereka juga dapat menjadi panutan dalam cara hidup sehat, serta mampu menggunakan tehnologi Health Education dalam melaksanakan tugasnya, yang dilaksanakan sedemikian rupa, hingga masyarakat yang menjadi sasarannya menjadikan cara hidup bersih dan sehat sebagai pola hidupnya sehari-hari.
Pengalaman di Lemah Abang memberikan pelajaran bahwa perubahan sikap perilaku kesehatan yang diharapkan meskipun hanya dalam lingkup seluas Keacamatan saja, ternyata memerlukan tindakan-tindakan di tingkat adminsitratif dan sosial yang lebih tinggi. Untuk itu diperlukan tenaga khusus untuk menanganinya secara professional. Pengalaman dan pengamatan menunjukkan bahwa sebagai “health educator” dalam Tim, ia dapat menjadi “Mediator” dalam menghadapi situasi konflik yang terjadi dalam Tim serta dapat membangun “networking” antar berbagai program/unit kerja. Singkatnya ia dapat berperan sebagai ”catalyst” dalam upaya mengadakan perubahan, yang memadukan pendidikan kesehatan dengan program serta dengan melibatkan peran aktif masyarakat.
Pengalaman di Lemah Abang juga menunjukkan, sebagaimana jargon dikutip di awal bab ini, bahwa :“Health education alone is nothing. Health education with program is something. Health education with program and community is everything”.

ERA PENDIDIKAN DAN PENYULUHAN KESEHATAN
(Kurun Waktu 1960-1980)


”Education is not for knowing more
But for behaving differently”
(Ruskin)


Istilah Pendidikan Kesehatan dan UU Kesehatan 1960

Dr. J. Leimena, selaku Menteri Kesehatan menyampaikan kepada Presiden Sukarno, Presiden I RI, pada tahun 1955 (dalam buku Kesehatan Rakyat di Indonesia, Pandangan dan Planning), bahwa merajalelanya berbagai penyakit di Indonesia pada saat itu adalah karena kurang baiknya keadaan hygiene lingkungan di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena kurangnya pengertian masyarakat tentang hygiene perseorangan dan hygiene umum. Oleh karena itu maka Pendidikan Kesehatan kepada Rakyat adalah suatu soal yang penting di Indonesia.
Dalam kaitan itu beliau juga menyatakan bahwa pada umumnya semua usaha di lapangan kesehatan masyarakat tidak akan berhasil jika masyarakat tidak diberikan pendidikan dan penerangan yang sebaik-baiknya tentang masalah itu. ”The public health administration can achieve no solid, durable and effective result unless the public is given Health Education”. Mengenai pentingnya pendidikan kesehatan ini juga dapat dilihat pada Undang-undang No. 9 Ytahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan.
Paling tidak ada dua hal penting dalam Undang-undang tersebut yang perlu dikemukakan dan dijadikan landasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Masyarakat yaitu :

  • Pasal 1, yang menyatakan bahwa Tiap-tiap warganegara berhak memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya dan perlu diikut sertakan dalam usaha-usaha Kesehatan Pemerintah.

  • Pasal 4, yang menetapkan Tugas Pemerintah untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha dalam lapangan......... butir c. Penerangan dan Pendidikan Kesehatan Rakyat......dst


Maka mulai dari sono, istilah Pendidikan Kesehatan telah dipergunakan secara resmi teman-teman.

Tentang apa yang disebut dengan Pendidikan Kesehatan (Health Education) banyak ahli memberikan definisi (seperti: Dorothy Neswander, Guy Steuart, Paul Mico, Helen Ross, Iwan Sutjahja, dll). Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan merupakan upaya yang ditekankan pada terjadinya perubahan perilaku, baik pada individu maupun masyarakat. Bahkan dalam salah satu jargonnya, yang bermula dari Ruskin sebagaimana dikutip di awal bab ini, ditegaskan bahwa fokus Health Education adalah pada perubahan perilaku itu, bukan hanya pada peningkatan pengetahuan saja. Oleh karena itu area Pendidikan Kesehatan adalah pada Knowledge (Pengetahuan), Attitude (Sikap) dan Practice (Perilaku), yang disingkat menjadi K.A.P.
Mengenai metode yang dipergunakan dalam pendidikan kesehatan dapat bervariasi, sesuai dengan keadaan, masalah dan potensi setempat. Namun metode tersebut harus dikembangkan : dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat.

Penetapan Hari Kesehatan Nasional

Pada sekitar tahun 1960-an malaria merupakan salah satu penyakit rakyat yang berkembang dengan subur(yach,,, sesuatu yang tidak membanggakan). Ratusan ribu jiwa mati akibat malaria. Berdasarkan penyelidikan dan pengalaman, sebenarnya penyakit malaria di Indonesia dapat dilenyapkan. Untuk itu cara kerja harus dirubah dan diperbarui. Maka pada September 1959 dibentuk Dinas Pembasmian Malaria (DPM) yang kemudian pada Januari 1963 dirubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Pembasmian malaria tersebut ditangani secara serius oleh pemerintah dengan dibantu oleh USAID dan WHO. Direncanakan bahwa pada tahun 1970 malaria hilang dari bumi Indonesia.
Pada akhir tahun 1963, dalam rangka pembasmian malaria dengan racun serangga DDT, telah dijalankan penyemprotan rumah-rumah di seluruh Jawa, Bali dan Lampung, sehingga l.k. 64,5 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari kemungkinan serangan malaria. Usaha itu juga dilanjutkan dengan nusaha surveilans yang berhasil menurunkan ”parasite index” dengan cepat, yaitu dari 15 % menjadi hanya 2%.
Pada saat itulah, tepatnya pada tanggal 12 November 1964, peristiwa penyemprotan nyamuk malaria secara simbolis dilakukan oleh Bung Karno selaku Presiden RI di desa Kalasan, sekitar 10 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Meskipun peristiwanya sendiri merupakan upacara simbolis penyemprotan nyamuk, tetapi kegiatan tersebut harus dibarengi dengan kegiatan pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN), yang setiap tahun terus menerus diperingati sampai sekarang. Sejak itu, HKN dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan/penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
Tetapi pemberantasan malaria dengan cara penyemprotan tersebut ternyata tidak dapat diteruskan karena tiadanya biaya. Bantuan dari USAID dan WHO berhenti. Juga karena adanya pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965.



Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat

Pada tahun 1967, Prof. Dr. GA Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan, dengan Surat Keputusan No. 091/III/Ad.Um/’67, telah menetapkan Susunan Organisasi Departemen Kesehatan. Dalam struktur organisasi tersebut antara lain ditetapkan bahwa unit yang melaksanakan tugas pendidikan kesehatan adalah Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Bagian PKM) yang berada di Biro Pendidikan, Sekretariat Jenderal. Kalau di era sebelumnya Bagian Pendidikan Kesehatan kepada Rakyat berada langsung dan bertanggung jawab kepada Menteri (yang mungkin dapat disebut setara dengan eselon I), maka dengan SK Menkes 1967 tersebut posisi Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat berada di bawah Kepala Biro, dan ditetapkan dalam jabatan eselon III, meskipun beban kerja Pendidikan Kesehatan tetap dan bahkan makin besar.
Meskipun hanya eselon III tetapi unit ini mempunyai jaringan yang cukup kuat dengan WHO. Demikianlah misalnya pada bulan November 1967, di New Delhi, India, diselenggarakan Inter-Country Workshop on The Methodology of Planning, Implementation and Evaluation of Health Education. Pada waktu itu Indonesia mengirimkan wakilnya yaitu : (1) Prof. Dr. I.M. Bagiastra (alm), saat itu sebagai Dekan FKM-UI; (2) dr. Wirjawan Djojosugito (alm), saat itu Kepala Biro V/Pendidikan; dan (3) Drs. Koento Hidajat (alm), saat itu sebagai Kepala Bagian PKM. Hasil workshop tersebut, di antaranya adalah keharusan berintegrasinya kegiatan Pendidikan Kesehatan dalam setiap program kesehatan baik dalam perencanaan, pelaksanaan (implementasi) maupun penilaian.
Selanjutnya pada bulan Agustus 1968, Bagian PKM menyelenggarakan Workshop tentang Approach Edukatip dalam Perencanaan dan Penyelenggaraan Program-Program Kesehatan Masyarakat, yang merupakan tindak lanjut dari Rapat Kerja Nasional bulan April 1968. Salah satu keputusan Raker adalah dinyatakannya ”Pendidikan Kesehatan” sebagai usaha utama dan mutlak, kalau rencana Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) hendak direalisasikan.
Beberapa rekomendasi penting dari workshop ini antara lain :

  1. Fungsi dan Peran PKM baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten:
    Yaitu bahwa Fungsi Bagian PKM di Pusat antara lain adalah Bimbingan Konsepsionil, Bimbingan Tehnis dan Penyaluran Bantuan Materiil

  2. Struktur Organisasi:
    Diusulkan kedudukan Bagian PKM ditingkatkan menjadi Biro karena merupakan salah satu tugas pokok Departemen (Basic Six)

  3. Untuk pembiayaan, diusulkan ada anggaran khusus untuk Pendidikan Kesehatan Masyarakat baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten.

  4. Diusulkan pengembangan staff yang qualified, antara lain pendidikan Health Education Specialist

  5. Bentuk terintegrasinya kegiatan PKM dalam setiap Program

Pendidikan Health Education Specialist

Pada sekitar tahun 1967-1968, semakin disadari bahwa masalah kesehatan tidak dapat diatasi melalui disiplin ilmu kedokteran saja, tetapi juga perlu menggunakan ilmu sosial. Itu disebabkan karena masalah kesehatan banyak terkait dengan masalah sosial, khususnya perilaku masyarakat. Untuk itu dipikirkan tentang perlunya tenaga khusus pendidikan kesehatan masyarakat tingkat sepesialis, yang memahami persoalan sosial kemasyarakatan. Hal itu telah dibawa dan dibahas di dalam Rakerkesnas 1968, dan disepakati perlunya pengembangan tenaga spesialis bidang pendidikan kesehatan masyarakat.
Maka diadakanlah proyek khusus Pengadaan Tenaga Health Education Specialist ini. Kegiatan ini mendapat bantuan dana dan konsultan dari WHO dan USAID, dan proyeknya bernama: Health Education Manpower Development Project. Konseptor dari proyek ini adalah Dr. Wiryawan Djojosoegito, Kepala Biro Pendidikan waktu itu dengan dibantu khususnya Drs. Koento Hidayat dan Dra. Koesnaniyah Wiryomihardjo.
Selaku Pimpinan proyek ditetapkan: Dr. Soeharto Wiryowidagdo. Tujuan proyek adalah pengadaan sekitar 60 orang HES (Health Education Specialist) dan memperkuat Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya di Universitas Indonesia, yang nantinya diharapkan mampu menyelenggarakan pendidikan tenaga HES tersebut di dalam negeri.
Proyek ini mulai berjalan pada tahun 1971 dengan merekrut para sarjana dari berbagai disiplin. Selain dokter dan dokter gigi, juga sarjana pendidikan, sarjana ekonomi, sarjana hukum, sosiologi, antropologi, dll. Angkatan I dan II dari proyek tersebut dididik di dalam dan luar negeri (USA). Sedangkan angkatan III dan IV dididik di dalam negeri (FKM UI). Khusus Angkatan I dan II, sebelum mereka belajar di USA terlebih dahulu mereka mengikuti Basic Orientation Course (BOC) dan Work Experience (Pengalaman Kerja Lapangan) in Health Education. Sedangkan angkatan III dan IV pengalaman lapangan dilakukan di belakang, setelah pendidikan di FKM UI selesai. Cerita lebih lanjut tentang proyek dan tenaga ini dapat dibaca di bab VII.
Sementara itu kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat di daerah tetap berjalan. Kegiatan KMD/PKR atau ”community development in health” di beberapa daerah berjalan cukup baik. Hal itu memang banyak dipengaruhi oleh adanya tenaga atau tokoh yang kreatif. Misalnya di Jawa Timur, ada Drs. Yusworo, yang pada waktu itu menjadi Kepala Unit Pendidikan Kesehatan Masyarakat di sana. Perlu pula disampaikan bahwa ada beberapa orang yang sebelumnya juga dikirim untuk memperoleh pendidikan atau pelatihan di luar negeri. Mereka itu ada yang dikirim ke USA, Libanon, India, dll. Mereka bersama tenaga-tenaga lainnya yang terus menerus menggerakkan kegiatan Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Indonesia pada waktu itu.



Dari Pendidikan ke Penyuluhan

Pada tahun 1975, Struktur Bagian PKM berubah, dari eselon III menjadi eselon II, tetapi tidak sebagai Biro, melainkan sebagai salah satu direktorat pada Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Ditjen Binkesmas). Yang berubah ternyata tidak hanya eselonnya, tetapi juga istilah (nomenklatur).
Pada waktu itu ada kebijakan Pemerintah dalam penggunaan nomenklatur (istilah/nama institusi), yaitu bahwa istilah Pendidikan hanya boleh dipergunakan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan di luar Depdiknas, nomenklatur Pendidikan Kesehatan yang dipergunakan adalah Penyuluhan Kesehatan. Dengan demikian maka Direktorat baru yang menangani masalah Pendidikan Kesehatan diberi nama Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, dengan Kepala Direktoratnya adalah dr Pudjiastuti Pranjoto, MPH (alm). Dengan dibentuknya Direktorat PKM ini, bahkan kantorpun juga mengalami perpindahan. Kalau sebelumnya bermarkas di Hang Jebat, maka Direktorat PKM me nempati sayap kanan gedung Departemen Kesehatan, lantai 2, di Jl Prapatan 10.
Sedangkan pengertian atau konsep Penyuluhan Kesehatan Masyarakat sebenarnya tidak berbeda dengan Pendidikan Kesehatan. Dalam hal ini, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat diberi pengertian sebagai ”suatu proses perubahan, pertumbuhan dan perkembangan diri manusia menuju kepada keselarasan dan keseimbangan jasmani, rohani dan sosial dari manusia tersebut terhadap lingkungannya, sehingga mampu dan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri serta masyarakat lingkungannya” (Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes, 1976). Tujuan penyuluhan kesehatan masyarakat ini adalah agar: (a) Kesehatan dianggap sebagai hal yang penting dan diberi nilai tinggi oleh masyarakat; (b) Masyarakat melakukan tindakan yang perlu untuk mencapai kesehatan diri dan lingkungannya; (c) Masyarakat berusaha membantu dan mengembangkan serta memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.



DKI PKM

Salah satu kegiatan yang menonjol pada era penyuluhan kesehatan ini adalah adanya Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (disingkat DKI PKM) yang mula-mula muncul awal tahun 1970-an. Ini berawal dari pengalaman kerja lapangan (field work experience) para ”Student Health Education Specialist” (calon Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat) di Bandung. Sebelum tugas belajar di Amerika, mereka diterjunkan di berbagai kecamatan di daerah kabupaten dan kota Bandung. Selama di lapangan ini mereka mengembangkan daerah kerja percontohan (demonstration area) pendidikan kesehatan masyarakat, yaitu suatu daerah yang masyarakatnya berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Mereka belajar teori dalam kelas dengan bimbingan konsultan WHO (Dr. CH Pyaratna) dan USAID (Mr. John Nelson) yang dibantu oleh dua orang supervisor Indonesia, yaitu Bapak Drs. Putulawa Udayana dan Bapak Dr. I.B. Mantra. Teori-teori dari dalam klas tersebut dicoba dipraktekkan di lapangan, secara langkah demi langkah, dalam nrangka pembinaan masyarakat, yang dilakukan bersama staf Puskesmas dan Kecamatan. Selama sekitar setahun mereka bolak balik antara kelas dan lapangan ini.
Setelah mereka kembali belajar dari Amerika, mereka ditempatkan di pusat dan daerah. Bertolak dari pengalaman Bandung yang dipadukan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya maka dikembangkanlah Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (DKI PKM) yang langsung dikoordinasikan oleh Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, d.h.i. Sub Direktorat Pengembangan Metoda dan Tehnik yang dipimpin oleh Dr. IB Mantra, mantan supervisor program kerja lapangan (work experience) HES di Bandung. Sesuatu yang khas dari DKI PKM ini adalah pendekatannya yang benar-benar melibatkan peranserta masyarakat, bahkan berupaya untuk memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini kemudian hari disebut dengan pendekatan edukatif.
Dalam rangka penyelenggaraan DKI PKM itu diselenggarakanlah pelatihan PKM bagi petugas daerah, yang lamanya 3 bulan. Pesertanya adalah Koordinator PKM Kabupaten. Mereka itu pada umumnya lulusan D3 Sanitasi atau D3 Perawatan. Kurikulum dan prosesnya mirip BOC dan Work Experience Bandung, hanya waktunya dipersingkat. Pelatihan ini diselenggarakan beberapa angkatan, tetapi kemudian waktunya dipersingkat lagi menjadi 4 minggu.
Pada tahap awal DKI ini dikembangkan pada 4 provinsi, yaitu: Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Ternyata keberhasilan pengembangan DKI pada 4 propinsi telah melebar ke provinsi lainnya. Tidak jarang dari kegiatan pengembangan DKI ini muncul petugas kesehatan teladan yang pada waktu itu penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah secara berkala. DKI PKM juga banyak menghasilkan kegiatan masyarakat dalam bidang kesehatan, yang pada umumnya terkait dengan masalah kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih, perbaikan rumah tempat tinggal, dll. DKI PKM inilah yang kemudian berkembang menjadi kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD).
Salah satu kelemahan dari pengembangan DKI PKM ini adalah sistem pencatatan dan pendokumentasian kegiatan yang belum dilakukan secara benar, sehingga tidak dapat dikemukakan secara kuantitatif, baik yang berkaitan dengan jenis kegiatan masyarakat, tenaga masyarakat yang berhasil dilatih, media yang diterbitkan, dana, dll. Tetapi kelemahan yang utama adalah karena proses pendekatan yang bersifat sektoral. Keterlibatan lintas sektoral bahkan lintas program sangat kurang, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian maupun di tahap pengembangan. Hal ini menyebabkan sulitnya diperoleh dukungan dari lintas program dan lintas sektor, dan sekaligus merupakan salah satu faktor penting tidak populernya DKI PKM.
Pengembangan DKI PKM ini tenggelam karena program kesehatan lain juga mengembangkan pendekatan yang serupa di lapangan, yang kemudian nanti dikenal dengan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (disingkat PKMD) dan Posyandu.



Pendekatan Edukatif

Pendekatan edukatif yang merupakan pendekatan yang dipergunakan dalam DKI PKM (juga kemudian dalam PKMD), adalah serangkaian kegiatan untuk membantu masyarakat: mengenali dan menemukan masalah mereka sendiri, dan kemudian atas dasar rumusan masalah kesehatan yang telah mereka sepakati dikembangkanlah rencana penanggulangannya. Tujuan utama pendekatan edukatif adalah untuk mengembangkan kemampuan masyarkat sehingga masyarakat yang bersangkutan dapat memcahkan masalah yang dihadapi atas dasar swadaya sebatas kemampuan mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi dasar yang ditempuh adalah mengembangkan provider dan masyarakat.
Yang dimaksud dengan provider adalah para petugas yang peduli terhadap kesehatan, utamanya petugas kesehaan yang terlibat langsung dengan masalah kesehatan masyarakat. Pengembangan provider ini bertujuan agar mereka mempunyai persamaan pandangan atau sikap positif terhadap kesehatan dan pendekatan edukatif. Secara lebih rinci pengembangan provider ini diharapkan akan menciptakan suatu kerja sama lintas sektor yang terkoordinir.
Untuk itu perlu diperhatikan, antara lain: (a) Adanya keterbukaan dan komunikasi; (b) Adanya wadah, yaitu yang telah ada di masyarakat setempat, misalnya: PKMD, LSD (lembaga sosial desa), atau BPGD (Badan Perbaikan Gizi Daerah, now(), now()); (c) Program yang saling menunjang, yaitu program kesehatan dan program sektor lainnya, dengan saling menghormati kewenangan masing-masing sektor; (d) Peran yang jelas dari masing-masing pihak; (e) Adanya kepusan atau keberhasilan bersama dari semua pihak yang terlibat; serta (f) Adanya perencanaan terpadu dari semua sektor.
Dalam rangka mewujudkan kerjasama antar provider, dilakukan langkah-langkah:

  1. Pendekatan terhadap para penjabat penentu kebijakan:
    Para penjabat lintas sektor baik tingkat pusat, daerah dan lokal, terutama pejabat pemerintahan (gubernur, bupati, camat, dsb) adalah merupakan kunci kerja sama. Oleh sebabab itu dalam menggalang kerjasama dalam rangka pendekatan edukatif ini, harus dilakukan pendekatan terhadap mereka ini. Tujuan pendekatan kepada para penjabat ini adalah untuk memperoleh dukungan politis. Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan semacam ini disebut ”advocacy”.

  2. Pendekatan terhadap para pelaksana dari berbagai sektor dan tingkat:
    Pendekatan ini bertujuan agar para pelaksanan dilapangan dari berbagai sektor memperoleh pemahaman yang sama terhadap program atau pendekatan yang akan dilakukan. Pendekatan ini dapat dilakukan baik secara horisontal (antar sektor pada tingkat sektor yang sama), maupun secara vertikal, antara sektor yang sama di tingkat administrasi yang berbeda (diatas atau dibawahnya).

  3. Pengumpulan data oleh provider tingkat kecamatan:
    Data adalah fakta empiris dari lapangan atau masyarakat, dan merupkan bukti bahwa masalah memang ada di masyarakat secara riil (faktual). Dari data inilah masalah ada, dan dari masalah inilah program atau kegiatan akan dimulai, karena program merupakan upaya pemecahan masalah. Oleh sebab itu, para petugas atau provider harus mengumpulkan sendiri data dan memahaminya sendiri. Manfaat data bagi provider disamping untuk mengenal masalah yang ada di masyarakat, juga merupakan pembanding (data awal) yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kegiatan. Jenis data yang diperlukan antara lain: (i) Data umum, yakni data tentang kondisi geografi wilayah, demografi, pemuka masyarakat, media komunikasi yang ada, sejenisnya, dan sebagainya; (ii) Data khusus, yakni data dari masing-masing sektor, antara lain: data pertanian, pendidikan, kesehatan (jamban keluarga, sumber air bersih, saluran air limbah, tempat pembuangan sampah, status gizi anak balita, dan sebaginya, now(), now()); (iii) Data perilaku, khususnya perilaku yang berkaitan dengan kesehatan, misalnya: kebaiasaan buang air besar, kebiasan mandi, kebiasaan makan, perilaku pencegahan penyakit, dan sebagainya.


Sedangkan pengembangan masyarakat pada hakekatnya adalah upaya menghidupkan atau menggali potensi masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya upaya ini disebut pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Adapun langkah-langkah pengembangan masyarakat adalah sebagai berikut:
  1. Pendekatan tingkat desa:
    Sasaran pendekatan ini adalah adalah para tokoh-tokoh masyarakat tingkat desa, utamanya kepala desa. Tujuan pendekatan ini adalah agar mereka memperoleh pemahaman tentang program, dan akhirnya mendukung program tersebut. Agar memperoleh kepercayaan mereka, maka sebaiknya pendekatan ini dilakukan oleh Kepala Puskesmas bersama-sama dengan Camat setempat. Akan lebih baik lagi kalau dilakukan oleh tim Kecamatan yang terdiri dari penjabat lintas sektor tingkat kecamatan yang dipimpin oleh Camat. Pelaksanaan pendekatan ini dianjurkan diadakan dalam bentuk pertemuan tingkat desa (kelurahan) yang dihadiri oleh kepala desa dan stafnya, anggota-anggota Lembaga Sosial Desa dan tokoh-tokoh masyarakat setempat lainnya. Dalam pertemuan ini tim dari kecamatan menjelaskan tentang Pengertian pendekatan edukatif serta langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dalam pengembangan masyarakat.

  2. Survai Mawas Diri (community self survey):
    Survai Mawas Diri atau Community self survey (CSS) ini merupakan pengenalan lingkungan sendiri, termasuk masalah yang ada di masyarakat, oleh mereka sendiri. CSS tidak terlepas dari kegiatan pengumpulan data oleh mereka sendiri untuk mengenal lebih baik tentang dirinya (masyarakat) sendiri. Meskipun petugas (tim) kecematan atau provider telah mempunyai data tentang masyarakat tersebut, tetapi data tersebut dilihat dari kaca mata provider, yang mungkin agak berbeda dengan yang dilihat atau gambaran dari masyarakat sendiri.
    Dengan cara ini maka program akan benar-benar dikembangkan bertolak dari kebutuhan dan masalah yang ditemukan sendiri atau oleh masyarakat sendiri, bukan menurut perkiraan provider. Kegiatan pokok CSS terdiri dari: Orientasi dan latihan; Pengumpulan data; Pengolahan dan analisis data; serta Penyajian data.

  3. Musyawarah Masyarakat Desa (MMD)
    Penyajian data (hasil CSS) diusahakan oleh atau setidaknya di hadapan para tokoh masyarakat desa agar diperoleh kesepakatan tentang: Masalah yang dirasakan oleh masyarakat, Prioritas masalah, yaitu masalah yang dianggap perlu dan segera dipecahkan; serta kesediaan masyarakat untuk ikut berperan sertan secara aktif dalam usaha pemecahan masalah tersebut. Hal itu dibicarakan dalam suatu forum yang disebut Musyawarah Masyarakat Desa (MMD).

  4. Perencanaan:
    Setelah kesepakatan seperti tersebut diatas tercapai, tim pembangunan desa yang bersangkutan, dibawah bimbingan tim dari kecamatan atau Puskesmas, menyusun rencana pemecahan masalah, yang mencakup antara lain: Program pemecahan masalah, sesuai dengan prioritas masalah yang telah ditentukan sebelumnya, tujuan dan sasaran program (tujuan umum dan khusus), kegiatan yang akan dilakukan, termasuk Rencana anggaran dan biaya, serta sumber dananya.

  5. Pelaksanaan:
    Hal yang penting dalam tahap pelaksanaan adalah mempersiapkan tenaga-tenaga pelaksana, termasuk penanggung jawaban pelaksana program.

  6. Penilaian:
    Pada waktu pelaksanaan program diperlukan pengawasan, monitoring sampai dengan evaluasi terhadap program atau kegiatan-kegiatan tersebut. Monitoring dan evaluasi program bukan sekedar apakah kegiatan-kegiatan telah berjalan sesuai dengan perencanaannya, tetapi juga apakah program mempunyai dampak terhadap penurunan atau hilangnya masalah. Dengan perkataan lain, apakah program tersebut mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kesehatan msyarakat.

”Pendekatan Edukatif” ini sangat membantu petugas kesehatan di Puskesmas, khususnya dokter-dokter baru Puskesmas, yang menurut pengakuannya kurang sekali memperoleh pengetahuan tentang itu waktu di Fakultas Kedokteran. Pendekatan edukatif itu semula dipergunakan dalam pengembangan DKI PKM. Kemudian, pada Rapat Kerja Pelaksanaan PKMD di Jakarta tanggal 27-30 Nopember 1978, oleh Dr. IB Mantra diusulkan untuk menjadi pendekatan yang dipergunakan dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (disingkat PKMD).

Berbagai kegiatan penyuluhan kesehatan

Selain mengembangkan DKI PKM dengan menggunakan pendekatan edukatif, Pusat PKM juga melakukan penyuluhan berbagai program kesehatan melalui berbagai kegiatan. Penyuluhan langsung melalui media dilakukan melalui televisi dan radio, baik secara nasional maupun secara lokal di Daerah. Setiap tahun PKM juga selalu memproduksi berbagai leaflet, poster, radio spot, TV spot, kalender, dll yang berisi pesan-pesan kesehatan. Berbagai pameran kesehatan juga digelar, khususnya dalam memperingati hari-hari tertentu, seperti: Hari Kesehatan Nasional, Hari Kesehatan Sedunia, Hari Tanpa Rokok Sedunia, dll. Dalam rangka memperingati berbagai hari tertentu itu, PKM lah yang paling sibuk dalam penyelenggaraannya, sekaligus memanfaatkan momentum hari-hari itu untuk melakukan penyuluhan kesehatan.
Selanjutnya berbagai pedoman, manual, dll juga diterbitkan, sebagai panduan bagi daerah atau program untuk melakukan penyuluhan kesehatan. Pelatihan-pelatihan bagi tenaga PKM daerah dan organisasi kemasyarakatan juga sering diselenggarakan, baik mengenai ke-PKM-an pada umumnya maupun mengenai metode dan tehnik tertentu, khususnya dalam pengembangan media penyuluhan. Kerjasama dengan lintas sektor, lintas program dan organisasi kemasyarakatan dijalin dalam rangka pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
Dalam perkembangannya nanti, PKM juga sangat berperan dalam menggerakkan PKMD dan Posyandu, serta berbagai kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Itu semua dilakukan dalam rangka menunjang terjadinya perubahan perilaku yang sehat di masyarakat. Perubahan perilaku itulah yang menjadi fokus kegiatan PKM, sebagaimana salah satu jargon yang dikutip pada awal bab ini (yang berasal dari Ruskin), bahwa: ”Education is not for knowing more, but for behaving differently”.

ERA PKMD, POSYANDU DAN
PENYULUHAN KESEHATAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
(Kurun Waktu 1975 - 1995)

”Go to the people;
Stay with them; Learn from them;
Work with them.
(Jargon Health Education)



Peran Serta Dan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan

Sebelum cerita tentang Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) kiranya perlu cerita sedikit tentang peranserta masyarakat yang merupakan komponen utama dalam PKMD. Perlunya peranserta masyarakat dalam pembangunan, termasuk di bidang kesehatan, didasarkan pada kesadaran bahwa tidak mungkin pembangunan hanya dilakukan dan ditanggung oleh pemerintah saja. Masyarakat harus diikut sertakan dan berperanserta di dalamnya. Masyarakat bukan hanya sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Hal ini sejak awal sudah merupakan konsep dasar pendidikan atau penyuluhan kesehatan, yang sudah dilaksanakan sejak sebelum dan di awal kemerdekaan.
Banyak batasan pengertian tentang peran serta masyarakat. Berdasarkan pertemuan Alma Ata (1978), WHO memberi rumusan tentang peran serta masyarakat adalah suatu proses dimana individu dan keluarga:

  1. Bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat.

  2. Berkembang kemampuannya untuk berkontribusi dalam pembangunan.

  3. Mengetahui keadaannya dengan lebih baik dan termotivasi untuk memecahkan masalahnya.

  4. Memungkinkan menjadi penggerak pembangunan (agent of develepment).

Bank Dunia (World Bank, 1978) merumuskan partisipasi masyarakat dari dimensi cakupannya, yakni:
  1. Keterlibatan dari semua unsur yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan terhadap apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara pelaksanaannya.

  2. Kontribusi massa dalam upaya pembangunan, misalnya dalam pelaksanaan dari keputusan yang telah diambil.

  3. Menikmati bersama hasil program pembangunan

Selanjutnya dalam ”World Health Assembly 1979” dirumuskan: Peran serta masyarakat adalah suatu proses untuk mewujudkan kerja sama kemitraan (partnership) antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam merencanakan, melaksanakan dan memanfaatkan kegiatan kesehatan, sehingga diperoleh manfaat berupa peningkatan kemampuan swadaya masyarakat dan masyarakat ikut berperan dalam penentuan prasarana dan pemeliharaan teknologi tepat guna dalam pelayanan kesehatan.
Sedangkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 1982 menyebutkan bahwa cara masyarakat berperan serta dapat dalam bentuk: ikut dalam penelahaan masalah, ikut dalam perencanaan dan pelaksanaan pemecahahan masalah-masalah kesehatan. Lebih jauh SKN, dalam Dasar-dasar Pembangunan Kesehatan Nasional menyebutkan, bahwa:
  1. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan mempertinggi derjat kesehatan masyarakat.

  2. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukan secara seimbang oleh pemerintah dan masyarakat serta dilaksanakan terutama melalui upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan (promotif) secara terpadu dengan upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).

  3. Sikap, suasana kekeluargaan, kegotong royongan serta semua potensi yang ada diarahkan dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan kesehatan.

  4. Pelayanan kesehatan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, berisendikan kepribadian bangsa.

Dari berbagai pengertian dan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Peran Serta Msayarakat adalah proses dimana individu dan keluarga serta lembaga swadaya masyarakat termasuk swasta:
  1. Mengambil tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga serta masyarakat.

  2. Mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam peningkatan kesehatan mereka sendiri dan masyarkat sehingga termotivasi untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapi.

  3. Menjadi agen, perintis atau penggerak pembangunan kesehatan dan pemimpin gerakan peran serta masyarakat di bidang kesehatan yang dilandasi semangat gotong royong.


Dalam perkembangannya nanti, istilah peran serta masyarakat dipandang kurang dinamis. Istilah tersebut dipandang kurang sesuai dengan isi pengertian yang dicakupnya. Di dunia internasional, selanjutnya juga digunakan istilah lain yang lebih menunjukkan tanggungjawab masyarakat yang lebih besar, yaitu: empowerment, atau community empowerment. Di Indonesia istilah itu menjadi ”pemberdayaan masyarakat”. Dalam berbagai pertemuan dunia/internasional tentang promosi kesehatan, istilah pemberdayaan masyarakat ini yang kemudian lebih ditonjolkan.

Munculnya PKMD

PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa) mulai muncul di permukaan pada sekitar tahun 1975. Pada waktu itu oleh Depkes dibentuk Panitya Kerja untuk menyiapkan konsep program Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Ketuanya adalah Dr. R. Soebekti, Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Landasan dasar dikembangkannya PKMD ini adalah sejarah budaya bangsa Indonesia yang telah turun temurun, yakni “gotong royong’ dan “musyawarah”. Mengacu pada dua prinsip ini maka konsep PKMD dikembangkan dengan semangat kekeluargaan dan saling membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan yang sehat membantu yang sakit.
Disamping landasan sosio budaya, PKMD juga mengacu pada Pancasila sebagai dasar dan tujuan pembangunan masyarakat Indonesia, yakni Berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusian dan berkebangsaan Indonesia, serta berkeadilan social yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pada waktu itu semua program pembangunan harus didasarkan pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Demikian pula PKMD, yang di dalam GBHN dengan jelas disebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk mencacapai kesempatan yang luas bagi setiap warga Negara untuk meningkatkan derajat kesehatannya sebagai bagian dari pencapaian kesejahteraan sosial. Hal itu juga sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan No. 9/1960 yang menyebutkan bahwa kesehatan bukan hanya sekedar bebas penyakit dan cacat, tetapi merupakan keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial. Kesehatan adalah hak setiap warga Negara untuk mecapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan derajat kesehatan seperti ini, maka perlu dilaksanakan pembangunan kesehatan masyarakat desa, sebagi bagian dari pembanguan nasional.
Sementara itu PKMD juga dikaitkan dengan kebijakan Departemen Dalam Negeri untuk melaksanakan program pembangunan desa jangka panjang, yaitu untuk menuju desa swasembada dengan pendekatan UDKP (Unit Daerah Kerja Pembangunan). Tiga tipe daerah pembangunan desa pada waktu dikelompokkan berdasarkan perkembangannya, yakni : Desa Swadaya (desa tradisional), Desa Swkarya (desa transsisi), dan Desa Swasembada (modern).
Kemudian pada tahun 1976 (Januari) di dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional ditetapkan bahwa PKMD merupakan pendekatan yang strategis untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan dengan target meningkatnya kesehatan masyarakt. Ditetapkan pula bahwa PKMD adalah program nasional. Untuk mengoperasikan PKMD pada bulan Maret tahun 1976 diadakan Lokakarya, yang diahadiri oleh para penjabat Departemen Kesehatan dan Depertemen Dalam Negeri. Hasil Lokakarya tersebut menetapkan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah uji coba PKMD. Disamping itu Loakakrya juga menetapkan Prokesa (promoter kesehatan desa) merupakan tenaga lapangan PKMD, dan Dana Sehat merupakan salah satu elemen pokok PKMD.
Selanjutnya pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 1977, hasil uji coba PKMD di kabupaten Karanganyar dibahas, dan dari hasil pembahasan tersebut disimpulkan bahwa PKMD dimantapakan sebagai startegi nasional untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Oleh sebab itu implemetasi PKMD diperluas secara nasional, bukan saja di pedesaan tetapi juga di perkotaan, sehingga muncul istilah PKMD perkotan.
Dalam pertumbuhannya, PKMD mememperoleh komitmen dari lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Departemen-Departemen dan lembaga-lembaga non departemen yang telah meberikan komitmen terhadap PKMD adalah: Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Depertemen Pertanian, Departemen Sosial, Depertemen Pekerjaan Umum, Departemen Agama , Departemen Perdagangan dan Industri dan Departemen Keuangan. Sedangkan lembaga pemerintahan non Departemen, dan lemabga swadaya masyarakat lainnya yang terlibat adalah: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Bank Rakyat Indonesia , Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Pramuka, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Perkumpulan Kelauraga Berenecana Indonsia (PKBI), Organisasi Wanita dan Palang Merah Indonsia.



PKMD dan Deklarasi Alma Ata

PKMD adalah rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan dengan berazaskan gotong royong dan swadaya. PKMD dilaksanakan dalam rangka menolong diri (masyarakat) sendiri untuk mengenal dan memecahkan masalah/kebutuhan yang dirasakan mayarakat. Kegiatan PKMD ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuaan masyarakat dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh sebab itu sasaran utama PKMD adalah: masyarakat mampu memelihara dan meningkatkan kehidupannya yang sehat dan sejehtera. Dengan demikian sebenarnya PKMD sama dan sebangun dengan upaya Pendidikan Kesehatan Masyarakat, khususnya yang dilakukan melalui pengembangan masyarakat (community development).
PKMD juga merupakan bagian integral dari pembangunan nasional pada umumnya, dan pembangunan desa pada khususnya. Kegiatan PKMD diharapkan muncul dari masyarakat sendiri dengan bimbingan dan pembinaan oleh pemerintah setempat secara lintas program dan lntas sektor. Puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan tingkat kecamatan atau kelurahan mengambil parakarsa dalam pemabangunan kesehatan masyarakat. Tujuan umum PKMD adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menolong diri mereka sendiri dibidang kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tujuan khusus PKMD adalah:

  1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat akan potensi yang dimiliki untuk menolong diri sendiri dalam meningkatkan mutu hidup mereka.

  2. Mengembangkan kemampuan dan prakarsa masyarakat untuk berperan serta aktif dan berswadaya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.

  3. Menghasilkan tenaga-tenaga masyarakat setempat yang mampu, trampil serta mau berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.

  4. Meningkatnya kesehatan masyarakat.

Dengan demikian sebenarnya PKMD adalah identik dengan pengembangan DKI PKM, sebagaimana yang diceritakan pada bab III. Kedua kegiatan ini sama-sama meningkatkan peranserta dan memberdayakan masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Namun karena PKMD melibatkan lintas program dan lintas sektoral, dan di Depkes sendiri dimotori oleh pejabat eselon I, maka PKMD lebih berkembang. Apalagi, PKMD kemudian memperoleh dukungan dunia internasional yang menggalakkan Primary Health Care, yang dicetuskan dalam “Deklarasi Alma Ata”.
Deklarasi itu dicetuskan pada tahun 1978 dalam suatu konferensi kesehatan yang dihadiri oleh 140 negara di dunia, termasuk Indonesia, di Alma Ata. Salah satu keputusan penting konfrensi tersebut adalah dideklarasikan “Sehat Untuk Semua Pada Tahun 2000” atau yang lebih dikenal dengan “Health For All By The Year 2000”. Semua negara yang menanda tangani deklarasi Alma Ata tersebut, termasuk Indonesia sepakat ingin mencapai kesehatan untuk semua tahun 2000 dan “Primary Health Care” sebagai bentuk operasionalnya.
Sementara itu Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) yang telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996, sebenarnya sudah merupakan perwujudan “primary helath care”. Maka kemudian dalam kebijakan nasional PKMD dikatakan bahwa “Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) merupakan bentuk kegiatan Primary Health Care” di Indonesia. Dengan adanya deklarasi Alma Ata yang intinya adalah pelaksanaan primary health care, maka memberikan dorongan pada pelaksanaan PKMD di Indonesia.

PKMD Dan SKN

Pada sekitar tahun 1982 ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (waktu itu Dr. Suwardjono Suryaningrat) yang menetapkan pembangunan kesehatan sebagai suatu sistem dari supra sistem pembangunan nasional. Selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR No. II/1983 tentang GBHN, disebutkan bahwa “Dalam rangka mempertinggi taraf kesehatan dan kecerdasan rakyat, pembangunan kesehatan termasuk perbaikan gizi perlu makin ditingkatkan dengan mengembangkan Sistem Kesehatan nasional (SKN).”
Peningkatan kesehatan dilakukan dengan melibatkan peran serta (partisipasi) masyarakat berpengahasilan rendah baik di desa maupun di kota. Panca Karsa Husada sebagai tujuan pembangunan panjang bidang kesehatan mencakup: (1) Peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan; (2) Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan; (3) Peningkatan status gizi masyarakat; (4) Pengurangan kesakitan dan kematian; dan (5) Pengembangan keluarga sehat sejahtera dengan makin diterimanya norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan dikaitkan dengan komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan primary health care, ditetapkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Hirarkhi tingkat pelayanan kesehatan sehubungan dengan komponen atau unsur-unsur pelayanan kesehatan menurut SKN, mulai dari tingkat Rumah tangga, selanjutnya ke tingkat masyarakat, terus sampai ke tingkat yang lebih tinggi, adalah sebagai berikut:Bagan Tingkat Pelayanan Kesehatan
  2. HirarkhiKomponen atau unsur pelayanan kesehatan
    Tingkat Rumah TanggaPelayanan kesehatan oleh individu atau keluarga sendiri
    Tingkat MasyarakatKegiatan swadaya masyarakat dalam menolong mereka sendiri, atau oleh kader kesehatan.
    Tingkat Pertama Fasilitas Pelayanan KesehatanPuskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling
    Tingkat Rujukan PertamaRumah Sakit Tingkat Kabupaten
    Tingkat Rujukan Yang Lebih TinggiRumah Sakit Kelas B atau A

  3. Pelaksanaan kegiatan pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD) yang dilakukan masyarakat minimal mencakup salah satu dari 8 unsur Primary Haelath Care sebagai berikut:

  1. Pendidikan mengenai masalah kesehatan dan cara pencegahan penyakit serta perlindungannya.

  2. Peningkatan persediaan makanan dan peningkatan gizi.

  3. Pengadaan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai.

  4. Kesehatan Ibu dan Anak termasuk keluarga berencana

  5. Imunisasi untuk penyakit yang utama

  6. Pencegahan dan pengendalian penyakit endemi setempat

  7. Pengobatan penyakit umum dan luka-luka

  8. Penyediaan obat esensial.

  1. Pengembangan dan Pembinaan PKMD dilakukan sebagai berikut:

    1. Berpedoman pada GBHN.

    2. Dilakukan dengan kerja sama lintas program dan lintas sektor melalui pendekatan edukatif.

    3. Koordinasi pembinaan melalui jalur fungsional pada Gubernur, Bupati, atau Camat.

    4. Merupakan bagian integral dari pembangunan desa secara keseluruhan.

    5. Kegiatan dilaksanakan dengan membentuk mekanisme kerja yang efektif antara instansi yang berkepentingan dalam pembinaan masyarakat desa.

    6. Puskesmas sebagai pusat pembangunan dan pengembangan kesehatan berfungsi sebagai dinamisator.



Penyebarluasan PKMD

Begitu PKMD memperoleh komitmen nasional bahkan dunia internasional (melalui Primary Health Care), maka dipersiapkan perangkat keras dan perangkat lunaknya. Direktorat Jenderal Binkesmas Depkes merupakan unit utama yang menggerakkan kegiatan ini dengan dukungan semua unit di Depkes dan unit-unit lain di luar Depkes. Direktorat Puskesmas yang berada di bawah Ditjen Binkesmas merupakan motor atau sekretariat kegiatan ini, yang menyiapkan tenaga, dana, sarana, dll yang diperlukan.
Direktorat tersebut bekerjasama dengan Pusdiklat Depkes dan unit-unit lain yang berkaitan, mula-mula menyelenggarakan pelatihan pelatih untuk beberapa provinsi dan kabupaten. Angkatan pertama pelatihan pelatih ini diselenggarakan di Bandung pada tahun 1978, dengan peserta antara lain dari Jawa Barat (kab. Indramayu), Sumatera Barat (kab. Solok), Jawa Timur (kab. Bangkalan) dan Sulawesi Utara (kab. Tondano). Pelatihan pelatih ini ditindak lanjuti dengan kegiatan pelatihan di masing-masing kabupaten, dan demikian seterusnya sampai pelaksanaan di lapangan. Sementara itu disiapkan pula bahan-bahan berupa pedoman-pedoman, peralatan, dana penunjang, dll. Pelatihan untuk angkatan-angkatan selanjutnya bagi kabupaten-kabupaten lain di Indonesia diselenggarakan di Balai Latihan Kesehatan Masyarakat (BLKM kemudian menjadi Bapelkes) Salaman, Magelang. BLKM Salaman ini kemudian juga berperan sebagai laboratorium lapangan PKMD.
Demikianlah PKMD berkembang di seleuruh penjuru tanah air. Gemanya juga cukup keras terdengar dan di beberapa daerah juga melakukan berbagai inovasi kegiatan. Di antara daerah tersebut adalah Jawa Timur yang pada waktu itu Kepala Kanwilnya adalah Dr. Suyono Yahya. PKMD yang semula lebih terbuka (unstructured) berkembang menjadi lebih fokus (semi structured). Kegiatan yang lebih fokus dan semi structured ini kemudian mengarah pada perkembangan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Apalagi Dr. Suyono Yahya kemudian menjadi Dirjen Binkesmas, menggantikan Dr. Subekti yang memasuki pensiun.

Tidak kenal Dirjen WHO Di Pertemuan WHO

Waktu itu ada konferensi internasional yang diselenggarakan oleh
Badan Organisasi Dunia, WHO. Nama konferensi itu: “International
Conference On Community Health Worker: Pillars for Health For
All”. Waktunya pada bulan Desember tahun 1986. Tempatnya di kota
Yaounde, ibu kota negara Cameroon, di Afrika. Wakil dari
Indonesia sebenarnya ada dua orang, tetapi wakil dari program,
pejabat yang cukup senior, berhalangan hadir. Terpaksalah saya sendiri,
yang waktu itu bertugas di Pusdiklat Depkes dan masih muda,
datang ke pertemuan itu. Bahkan saya juga harus menyajikan
pengalaman Indonesia dalam salah satu sidang pleno pertemuan itu.
Sebelum sidang-sidang resmi dimulai, seperti biasa ada acara informal:
Acara santai yang diisi dengan minuman ringan dan makanan kecil
serta bincang-bincang antar peserta, atau untuk saling mengenalkan diri
dengan peserta lain yang belum kenal. Itulah yang saya lakukan pada
waktu itu. Saya cukup aktif untuk mengenalkan diri dan berkenalan
dengan peserta lain dalam konferensi itu.
Di antara kelompok-kelompok peserta ada satu kelompok yang
nampaknya bicaranya lebih ramai. Saya dekati kelompok tersebut dan
bergabung dengan mereka. Saya memperkenalkan diri dan menanya
siapa mereka itu, karena memang belum kenal semuanya. Orang yang
pertama saya jabat tangannya dan menanya siapa dia ternyata
alah Dr. Mahler, Dirjen WHO waktu itu. Dengan sopan beliau
memperkenalkan dirinya, dan menyatakan kegembiraannya bahwa
saya dapat ikut pertemuan itu. Beliau juga menanyakan pejabat
senior dari Indonesia yang tidak dapat hadir dalam pertemuan itu,
serta pejabat-pejabat penting Depkes lainnya, yang beliau sebut
sebagai teman-teman beliau.
Aduh, selain bersyukur dapat bertatap muka dan berbincang langsung
dengan beliau, pada waktu itu saya maluuu banget. Dengan orang setenar
beliau saya kok belum kenal. Seperti diketahui, rasanya beliaulah orang
yang pertama kali mengemukakan kata-kata yang sangat terkenal itu
sampai sekarang. Kata-kata itu adalah : “Health is not everything,
but without health everything else is nothing”.
(Diceritakan oleh Dachroni)

Munculnya Posyandu

Dengan berkembangnya PKMD dan dalam implementasinya menggunakan pendekatan edukatif, muncullah berbagai kegiatan sawadaya masyarakat untuk pelayanan kesehatan antara lain: Pos Penimbangan Balita, Pos Imunisasi, Pos KB Desa, Pos Kesehatan, Dana Sehat. Selain itu juga muncul berbagai kegiatan lain, yang berada di luar kesehatan, meskipun tetap ada kaitannya dengan bidang kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut murni muncul dari masyarakat sendiri, dan untuk pelayanan mereka sendiri, dibidang kesehatan.
Secara teori, pada periode ini telah muncul perbedaan sudut pandang. Mulai terlihat bahwa salah satu kelemahan dari pendekatan edukatif adalah belum berhasil memunculkan “community real need”. Yang terjadi adalah bahwa melalui pendekatan edukatif ini telah muncul berbagai “community felt need”. Akibatnya muncul berbagai kegiatan masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat tersebut. Dengan munculnya aneka ragam kegiatan masyarakat tersebut, sulit untuk memperhitungkan kontribusi kegiatan masyarakat tersebut terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini mendorong para pengambil keputusan di lingkungan Departemen Kesehatan untuk melakukan perubahyan pada pendekatan edukatif sebagai strategi pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada tahun 1984, berbagai kelompok kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan (Pos Penimbangan Balita, Pos Imunisasi, Pos KB Desa, Pos Kesehatan), dilebur menjadi satu bentuk pelayanan kesehatan terpadu yang disebut Posyandu (pos pelayanan terpadu). Atau lengkapnya Pos Pelayanan Terpadu KB-Kesehatan. Peleburan menjadi Posyandu tersebut, selain setelah dicoba dikembangkan di Jawa Timur, juga setelah melalui tahap kegiatan uji coba di tiga provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Dipadukannya pelayanan KB dan kesehatan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan keuntungan bagi masyarakat. Karena dengan keterpaduan pelayanan ini masyarakat dapat memperoleh pelayanan lengkap pada waktu dan tempat yang sama.
Secara konsepsual, Posyandu merupakan bentuk modifikasi yang lebih maju dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk menunjang pembangunan kesehatan, khususnya dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penurunan angka kematian bayi. Modifikasi tersebut adalah dengan tetap mempertahankan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat, gotong royong dan sukarela, namun bentuk kegiatan masyarakat dalam pembangunan kesehatan tidak lagi beragam, karena sudah diarahkan dan diseragamkan yaitu Posyandu. Melalui keseragaman kegiatan masyarakat dalam bentuk Posyandu, diharapkan dapat berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat, khususnya penurunan angka kematian bayi dan balita.
Posyandu merupakan unit pelayanan kesehatan di lapangan yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk masyarakat dengan dukungan teknis Puskesmas, Departemen Agama, Departemen Pertanian, dan BKKBN. Posyandu melaksankan 5 program kesehatan dasar yakni: KB, kesehatan ibu dan anak, gizi, imunisasi, dan penaggulangan diare. Adapun sasaran utama adalah menurunkan angka kematian bayi dan memperbaiki status kesehatan dan gizi balita, maupun ibu hamil dan menyusui.
Posyandu merupakan wadah partsipasi masyarakat, karena Posyandu paling banyak menggunakan tenaga kader. Kader ini merupakan tenaga relawan murni, tanpa dibayar, namun merupakan tenaga inti di Posyandu. Sebagian besar kader adalah wanita, anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Maka dapat dikatakan bahwa PKK merupakan sumber penggerak Posyandu. Tokoh-tokoh di awal terbentuknya Posyandu ini adalah: Dr. M. Adhyatma, Dr. Suyono Yahya, Ibu Soeparjo Rustam, dll.

Stand Pameran yang paling lama dikunjungi Presiden RI

Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Pada waktu itu diadakan peringatan ulang tahun BKKBN, Dep.
Transmigrasi dan Tenaga Kerja dan Dep. Pertanian. Dengan
pertimbangan efisiensi, upacara peringatan tersebut digabungkan
menjadi satu peristiwa dan dilangsungkan di daerah transmigrasi
di provinsi Jambi.
Karena Presiden Soeharto dan ibu Tien berkenan akan hadir ke
acara tersebut, maka di lokasi tersebut akan diadakan pameran
yang menggambarkan kemajuan yang telah dicapai oleh ketiga
departemen/lembaga tersebut. Tentu saja mereka mengerahkan
segala daya termasuk dana untuk menyiapkan pameran untuk
memberikan kesan “hebat” kepada Kepala Negara.
Setelah persiapan selesai, tiba-tiba saja Dep. Kesehatan juga diberi
kesempatan untuk turut serta dalam pameran tersebut. Maka dikirim
rombongan dengan misi khusus yang terdiri dari: Bapak Ign Tarwotjo
MSc, Dr. Widyastuti MScPH, Drs. Sri Widodo, MPH dan Drs. Muchsin
Alwi, MPH. Tim ini dibantu oleh Dr. Fadlun dari Dinkes Jambi dengan
tugas menyiapkan pameran di lokasi transmigrasi.
Karena merupakan peserta terakhir, Depkes tidak memperoleh tempat
di dalam gedung pameran, karena semua tempat telah penuh terisi. Oleh
panitia disediakan tempat di luar gedung, bersebelahan dengan tempat
pameran sapi Banpres. Hanya dalam tempo semalam disiapkanlah rencana
pameran tersebut, dan tema yang dipilih adalah Posyandu. Dalam stand
pameran itu ditampilkan kegiatan kader Posyandu lengkap dengan peralatan
dan bayi.
Alhamdulillah, ternyata stand dadakan ini merupakan stand yang paling
lama dikunjungi oleh Bapak Presiden dan Ibu Tien Soeharto. Sedangkan
stand lain di dalam gedung hanya dilewati saja oleh kedua beliau. Rupanya
beliau menikmati sekali sajian lagu “Aku Anak Sehat” yang dibawakan oleh
para kader Posyandu.

Tujuan Posyandu dan Sistem Pelayanan 5 Meja

(pada waktu pian-pian buan cikal bakal bidan neneh yang di garis bawahi dan ditanamkan di hati) Sasaran utama pelayanan Posyandu adalah kelompok-kelompok rentan, yakni ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita. Oleh sebab itu pelayanan Posyandu mencakup pelayanan-pelayanan: kesehatanan ibu dan anak, imunisasi, gizi, penanggulangan diere, dan keluarga berencana.
Tujuan dikembangkannya Posyandu sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan, yakni:

  1. Untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita, dan angka kelahiran.

  2. Untuk mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS).

  3. Berkembangnya kegiatan-kegiatan masyarakat dalam rangka menunjang meningkatnya kesehatan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Pelayanan Posyandu menganut sistem 5 meja, dengan urutan sebagai berikut:
  1. Meja 1:Melayani pendaftaran bagi para pengunjung Posyandu, yang dikelompokkan menjadi 3 yakni: bayi dan anak balita, Ibu hamil dan menyusui, dan PUS (pasangan usia subur). Pelayanan meja 1 dilakukan oleh kader kesehatan.

  2. Meja 2: Melayani penimbangan bayi, balita, dan ibu hamil, dalam rangka memantau perkembangan bayi, balita, dan janin dari ibu yang sedang hamil, yang dilayani oleh kader kesehatan.

  3. Meja 3: Melayani pencatatan hasil dari penimbangan dari Meja 2 didalam KMS (kartu menuju sehat), baik KMS bayi/balita maupun KMS ibu hamil, juga dilayanani oleh kader.

  4. Meja 4: Melakukan penyuluhan kepada ibu bayi/balita dan ib hamil, sebagai tindak lanjut dari hasil pemantauan status gizi, balita dan ibu hamil, dan KB. Meja ini dilayani oleh petugas atau kader.

  5. Meja 5: Dilakukan pelayanan oleh petugas medis/para medis dari Puskesmas untuk imunisasi, pemasangan alat kontrasepsi, atau pengobatan bagi yang memerlukan, dan periksa hamil. Bila terdapat kasus yang tidak dapat ditangani oleh Posyandu, mereka akan dirujuk ke Puskesmas.

Perkembangan pesat Posyandu

Penyelenggaraan Posyandu pada berbagai tatanan administrasi, merupakan satu bentuk demonstrasi tentang betapa efektifnya jejaring kemitraan yang dikembangkan oleh Departemen Kesehatan. Di Depkes, unit yang merupakan penggerak kegiatan Posyandu ini adalah Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (BPSM) yang berada di bawah Direntorat Jenderal Binkesmas, yang merupakan ”saudara kembar” dari unit Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, yang berada dibawah Sekretariat Jendral.
Dalam rangka pengembangan jejaring kemitraan untuk mennunjang penyelenggaraan Posyandu, Departemen Dalam Negeri mengambil prakarsa untuk mewujudkan Kelompok Kerja nasional Posyandu (Pokjananl Posyandu), sebagai bagian dari institusi LKMD yang ada pada setiap jenjang administrasi pemerintahan. LKMD ini merupakan wadah koordinasi berbagai kegiatan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Inilah yang merupakan salah satu kunci suksesnya pengembangan Posyandu, yaitu karena terjalinnya kemitraan yang kuat dan luas di kalangan penyelenggara pemerintahan melalui Pokjanal Posyandu tersebut
Demikianlah kemudian Posyandu berkembang sangat pesat. Terakhir tercatat tidak kurang dari 240.000 buah Posyandu yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Banyak pejabat kesehatan dunia dan dari negara sahabat datang berkunjung, serta berdecak kagum melihatnya dari dekat. Ini juga tidak lepas dari para kader PKK (penggerak kesejahteraan keluarga) yang menjadi penggerak Posyandu mulai dari Pusat sampai ke lini paling depan. Atas perannya ini, wajarlah apabila Ibu Suparjo Rustam memperoleh penghargaan deari WHO (berupa Sasakawa award).
Memang belum dapat diketahui secara pasti berapa besar kontribusi keberadaan dan kegiatan Posyandu ini terhadap penurunan angka kematian bayi. Tetapi yang pasti memang terjadi penurunan angka kematian bayi berbarengan dengan melesatnya perkembangan Posyandu di Indonesia. Namun Posyandu belum berdampak positif pada penurunan angka kematian ibu. Dan dengan terjadinya krisis ekonomi dan sosial di sekitar tahun 2000, banyak Posyandu yang terpuruk. Pada saat ini sedang dilakukan kegiatan revitalisasi Posyandu.



Peran PKM Dalam Pengembangan Posyandu

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat menempati peran sentral dalam pengembangan Posyandu. Itu dilakukan selain masukan berupa gagasan, terutama berupa upaya untuk mempromosikannya. Dalam kaitan ini banyak sekali media penyuluhan dikembangkan untuk menunjang kegiatan Posyandu. Poster, leaflet, dan berbagai buku pedoman banyak dicetak dan disebar luaskan. Baligo: ”Ayo ke Posyandu” banyak dipasang di mana-mana. Logo dan slogan Posyandu dikenal sampai sekarang, yaitu: ”Menjaga anak sehat tetap sehat”. Sinetron Dr. Sartika dibuat a.l. juga untuk menyebar luaskan pentingnya Posyandu.
Selain itu disebar luaskan pula lagu ”Aku Anak Sehat” (hayo,,,nyanyi bareng, capa yang ga tau lagunya???)yang syairnya ditulis oleh Drs. Oendang Badruzzaman (staf PKM, angkatan ke 4 Proyek Pengembangan Tenaga HES), dan lagunya diciptakan oleh A Riyanto (almarhum). Lagu itu dikenal dan dinyanyikan secara luas sampai sekarang. Di bawah ini adalah syair lagu ”Aku Anak Sehat” tersebut:

Aku Anak Sehat

Aku anak sehat, tubuhku kuat
Karena ibuku rajin dan cermat
Semasa aku bayi selalu diberi ASI
Makanan bergizi dan imunisasi

Berat badanku ditimbang selalu
Posyandu selalu menunggu setiap waktu
Bila aku diare ibu telah waspada
Pertolongan oralit telah siap sedia

Demikianlah, dalam PKMD dan Posyandu ini mengingatkan kita pada jargon yang mengajak kita untuk lebih mengenali masyarakat, melarang kita untuk menggurui masyarakat bahkan kita harus lebih banyak belajar kepada masyarakat. Paling tidak kita harus dapat menangkap aspirasi masyarakat, sebagaimana diungkapkan di awal tulisan bab ini: “Go to the people, stay with them, learn from them and work with them”.

Penyuluhan Kesehatan Melalui Media Elektronik

Selain penggerakan dan pemberdayaan masyarakat melalui PKMD dan Posyandu, penyuluhan kesehatan pada waktu itu juga dilakukan melalui berbagai media, baik media cetak, media luar ruang, maupun khususnya media elektronik. Media elektronik itu terutama melalui radio dan televisi, selain juga dilakukan melalui kaset atau VCD, berupa lagu-lagu atau film lepas, dan belakangan juga melalui internet. Khususnya penyuluhan melalui radio sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan melalui RRI, meskipun belum terprogram secara tetap. Selain acara yang berskala nasional juga berlangsung siaran yang bersifat lokal.
Kemudian pada sekitar tahun 1980-an, Direktorat PKM mempunyai program tetap penyuluhan kesehatan melalui RRI Program Nasional. Programnya berupa acara langsung dalam bentuk dialog tentang penyakit-penyakit yang ada di masyarakat. Tanggapan masyarakat berupa pertanyaan tertulis diajukan ke Direktorat PKM, yang dijawab oleh pengasuh pada acara dialog selanjutnya, atau melalui surat. Selanjutnya juga dikembangkan pesan-pesan kesehatan melalui sandiwara radio (judul: ”Butir-butir Pasir Putih”), yang siarannya dibawakan oleh para aktor/aktris RRI, dan PKM megirim bahan sampai ratusan naskah.
Pada sekitar tahun 1995-2000 karena maraknya masalah HIV/AIDS, dikembangkan sandiwara radio dengan topik HIV/AIDS. Sandiwara yang dilsiarkan setiap hari itu dilakukan oleh RRI dan terdengar sampai ke Papua. Khusus untuk sandiwara radio ini juga ada ratusan naskah, dan acaranya disertai lomba berupa ”kwis” untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan materi sandiwara. Para pemenang lomba diundang dalam acara konperensi pers. Ada yang sangat mengharukan: Salah satu pemenangnya adalah mahasiswa ITB yang menyatakan bahwa hadiahnya akan dipergunakan untuk membayar uang kuliah. Padahal waktu itu hadiahnya hanya beberapa ratus rupiah saja. Selain itu juga ada radio spot juga mengenai HIV/AIDS yang sehari diulang sampai lima kali. Acara-acara itu disponsori oleh Ford Foundation, yang juga mensponsori acara di televisi. Penyuluhan kesehatan melalui radio ini terus berlangsung sampai sekarang, bahkan meliputi radio swasta nasional dan lokal, dengan berbagai program dan topik pesan.
Sedangkan acara penyuluhan kesehatan melalui televisi, mulai berlangsung sejak tahun 1960-an akhir atau 1970-an awal. Pada waktu itu televisi pada umumnya masih hitam putih, dan bintangnya adalah dr. Herman Susilo, MPH, kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta waktu itu, dibantu oleh Drs. Tarzan Panggabean, dari unit PKM DKI Jakarta. Penyuluhan kesehatan berupa nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter kepada pasiennya yang datang berobat dengan berbagai penyakit yang dideritanya. Acara itu cukup berkesan di masyarakat, dan banyak anak yang mengidolakan profil dr. Herman Susilo. Acara ini tetap berlangsung meskipun dr. Herman Susilo sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan DKI. Kemudian juga ada penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh dr. Sumaryati Aryoso, SKM, yang waktu itu menjabat sebagai kepala Unit PKM DKI Jakarta. Penyuluhan dilakukan dalam bentuk dialog dengan beberapa orang penanya yang hadir di studio tentang berbagai penyakit atau masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1980-1995 itu, penyuluhan kesehatan melalui TVRI diorganisir oleh Direktorat PKM melalui beberapa acara, antara lain:

  1. Sebaiknya Anda Tahu, yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan/penyakit yang perlu diketahui oleh masyarakat luas.

  2. Dari Desa Ke Desa, mengekspose kegiatan masyarakat desa dalam melakukan upaya-upaya yang dilakukan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesehatan masyarakatnya.
  3. Dewasa Kita, mengekspose satu desa yang masyarakatnya giat melakukan upaya kesehatan di desanya.

  4. Bentuk acara lain, misalnya tentang mereka (petugas kesehatan atau kader kesehatan) yang berhasil membangun kesehatan masyarakat di wilayahnya. Selain itu juga pesan-pesan kesehatan melalui sandiwara boneka ”Si Unyil”, ”Ria Jenaka”, dll. Sementara itu lagu ”Aku Anak Sehat” juga sering berkumandang melalui TVRI.

Acara-acara tersebut cukup berjalan dengan baik. Khusus acara nomor 2 dan 3 sangat merangsang desa-desa lain, dan sering sekali mendapat dukungan kuat dari Pemerintah Daerah setempat.

Sinetron Dr. Sartika dan Bidan Minati

Pada sekitar tahun 1980-an itu ada drama TV ”Losmen” yang sangat digemari masyarakat. Kemudian Menkes pada waktu itu, Dr. Soewardjono Soerjaningrat memanggil Dr. IB Mantra, Kapus PKM waktu itu untuk menjajagi adanya sinetron seperti ”Losmen”. Diadakanlah pendekatan kepada Ami Priyono dan Wahyu Sihombing. Disepakatilah harga per episode waktu itu Rp. 25 juta bersih. Padahal drama Losmen hanya Rp. 14 juta. Setelah dibuat proposal, Bappenas memberikan persetujuan, bahkan harganya menjadi Rp. 30 juta karena harus dilakukan melalui tender.
Maka dirancanglah sinetron khusus untuk menyebar luaskan pesan-pesan kesehatan ini, yang diberi nama: Dr. Sartika. Skenario naskah disusun oleh Ibu Maryati Sihombing. Sedangkan konsultan materi adalah program-program di lingkungan Depkes. Pengatur pesan-pesan kesehatan menjadi tanggungjawab Pusat PKM dengan ”contact person” : Drs. Oendang Badruzzaman, staf Pusat PKM. Para bintangnya antara lain: Dewi Yull yang memerankan Dr. Sartika, Dwi Yan sebagai Dr. Imam, dll. Tetapi ada saja kecolongan. Misalnya cuci tangan di ember. Maka selain meneliti naskah, diperlukan pula supervisi ke lapangan. Maka dalam setiap ”shooting” yang dilakukan di luar studio, staf PKM pada umumnya selalu menlakukan supervisi lapangan.
Program sinetron Dr. Sartika ini mendapat sambutan hangat masyarakat. Sinetron ini meskipun berisi pesan-pesan kesehatan, tetapi dijalin dengan masalah keluarga dan masyarakat, sehingga pesan-pesannya mengalir, tidak menggurui dan ”alamiah”. Melalui sinetron ini masyarakat dapat belajar hidup sehat serta menjadikan Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan bagi yang membutuhkannya (tidak pergi ke dukun). Sinetron ini sekaligus juga berisi informasi kepada para petugas Puskesmas, untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan benar. Sinetron tersebut juga menjadi rujukan dan penghubung antara program dan petugas Puskesmas. Selain itu sinetron ”Dr. Sartika” ini juga memberikan dampak positif kepada para artis pendukungnya. Misalnya, ada artis yang semula perokok berat kemudian menghentikan kebiasaan merokoknya tersebut. Program ini berjalan sampai 39 episode, dan berjalan selama sekitar empat tahun (1989-1992). Harga per episode berkembang dari sekitar Rp 25 juta menjadi sekitar Rp. 250 juta. Program ini berhenti, karena beberapa alasan. Antara lain pada waktu itu sudah mulai ada beberapa saluran TV swasta yang menyediakan banyak pilihan acara lain. Selain itu biaya produksi dan tayang semakin mahal, sehingga sponsor program ini akhirnya tidak melanjutkan acara ini. Sinetron Dr. Sartika ini pernah mau dihidupkan lagi, tetapi ada beberapa kendala sehingga sampai sekarang belum berhasil.
Selain sinetron Dr. Sartika juga dikembangkan film-film lepas. Antara lain mini seri film yang berjudul: ”Minati Bidan Tercinta”. Film ini bertujuan untuk mempromosikan bidan di desa yang pada waktu itu kurang memperoleh sambutan masyarakat, karena banyak di antara mereka yang masih lajang dan belum mempunyai banyak pengalaman menolong persalinan. Pemeran utama film ini adalah Uci Bing Slamet. Mini seri ini berjalan baik meskipun sambutan masyarakat tidak sehangat sebagaimana pada Dr. Sartika.



Sinetron Kupu-kupu Ungu dan acara-acara lainnya

Selain kedua sinetron tersebut, juga ada sinetron lepas dengan judul ”Relung Hati”, yang dibintangi oleh Drg. Fadli dan Minati Atmanagara, untuk mempromosikan dokter Inpres. Sinetron lepas lainnya adalah ”Pengakuan” yang dibintangi oleh Leila Anggraeni dll, untuk menunjang program Kesehatan Ibu dan Anak. Sedangkan untuk menunjang program air dibuat film dengan judul : ”Cintaku pada Gemericik Air”.
Kemudian pada sekitar tahun 1994 persoalan HIV/AIDS mulai marak. Pada waktu itu di Ford Foundation Perwakilan Indonesia ada Dr. Rosalia (orang Itali yang bersuamikan orang Indonesia) yang sangat peduli dengan HIV/AIDS. Melalui Ford Foundation disponsorilah berbagai kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, antra lain sinetron di televisi. Maka dibuatlah sinetron, dengan judul: ”Kupu-kupu ungu”. Sutradara dan penulis skenario adalah Nino Riantarno, dengan bintang utamanya: Nurul Arifin. Untuk menulis skenario tersebut berkumpul beberapa orang pakar yang mewakili beberapa unit program di Depkes dan beberapa unsur swasta/LSM. ”Contact person” dari Pusat PKM adalah Ir. Ninik Suharini Sahal. Sinetron ini disiarkan di RCTI, dibuat sampai 13 episode, menyajikan persoalan HIV/AIDS dari berbagai segi pandang, termasuk HIV/AIDS pada anak, ibu rumah tangga, Pekerja Seks Komersial, ODHA, dll. Beberapa judul sinetron ini bahkan diminta untuk disajikan pada festival film Asia di Amsterdam pada sekitar tahun 1995 dan di Kualumpur pada sekitar tahun 1999.
Penyuluhan melalui televisi selain melalui sinetron juga melalui acara-acara lain seperti: kompetisi lagu-lagu kesehatan: ada versi pop, dangdut dan rock. Juga melalui lagu-lagu gambang kromong Benyamin S dan Ida Royani. Selanjutnya yang semakin marak sampai sekarang adalah penyampaian pesan melalui ”filler” atau iklan layanan masyarakat. Sudah banyak sekali ”filler” yang ditayangkan mengenai berbagai macam program. Salah satunya yang cukup terkenal pada waktu itu adalah dengan judul: ”Jangan Lupa” yang disampaikan oleh Butet Kertajaya dengan kocaknya, sehingga setiap kita melihat dan mendengar suaranya: ”Jangan Lupa” kita lalu ingat pesan-pesannya tentang HIV/AIDS. Juga filler tentang Ibu Hamil, Napza/Narkoba, Gizi, Gaya Hidup Sehat, dll. Dan kita juga akan selalu ingat filler tentang Pekan Imunisasi Nasional yang dibawakan oleh kelompok Rano Karno dan Mandra yang waktu itu sangat tenar.
Pesan-pesan kesehatan yang disebar luaskan melalui media televisi dan kerjasama dengan para artis ini tetap berlangsung sampai sekarang. Beberapa cukup berhasil membina suasana dan mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu. Namun beberapa juga ada yang kurang mendapat sambutan masyarakat. Perlu diakui bahwa tayangan melalui teleivisi itu biayanya sangat mahal.
Pada hal pada saat ini pilihan saluran TV cukup banyak, sehingga upaya penyebar luasan informasi melalui televisi ini perlu dihitung dengan cermat plus minusnya. Evaluasi terhadap program kesehatan di televisi ini seharusnya dilakukan, untuk lebih mengetahui efektifitas dan efisiensinya, dan terutama untuk dapat lebih memahami aspirasi masyarakat terhadap pesan-pesan kesehatan.
Selanjutnya selain sinetron, film lepas atau filler tersebut juga diproduksi kaset dan VCD, berisi lagu, film atau pesan nlainnya. Media-media tersebut kemudian disebar luaskan ke beberapa media televisi dan radio, baik yang ada di Jakarta maupun di kota-kota lainnya. Dikembangkan pula pesan-pesan atau tulisan melalui internet, dengan kode: www.promosikesehatan.com. Pusat Promkes sekarang juga membuka saluran melalui email dengan kode: pa@promosikesehatan.com.

ERA PROMOSI KESEHATAN DAN PARADIGMA SEHAT
(Kurun waktu 1995-2005)



“Dream children, dream, otherwise you won’t have anything to live for”
(The 4th ICHP, Jakarta, 1997)


Munculnya Istilah Promosi Kesehatan

Istilah Health Promotion (Promosi Kesehatan) sebenarnya sudah mulai dicetuskan setidaknya pada tahun 1986, pada waktu diselenggarakan Konferensi International Pertama tentang Health Promotion di Ottawa, Canada, pada tahun 1986. Pada waktu itu dicanangkan the Ottawa Charter, yang memuat definisi dan prinsip-prinsip dasar Health Promotion. Namun istilah tersebut pada waktu itu di Indonesia belum bergema. Pada waktu itu, istilah yang ada tetap Penyuluhan Kesehatan, disamping juga populer istilah-istilah lain seperti: KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), Pemasaran Sosial (Social Marketing), Mobilisasi Sosial, dll.
Suatu ketika pada sekitar akhir tahun 1994, Dr. Ilona Kickbush, yang baru saja menjabat sebagai Direktur Health Promotion WHO Headquarter Geneva, datang ke Indonesia. Sebagai direktur baru ia mengunjungi beberapa negara, termasuk Indonesia. Kebetulan pada waktu itu Kepala Pusat Penyuluhan Kesehatan Depkes juga baru saja diangkat, yaitu Drs. Dachroni MPH, yang menggantikan Dr. IB Mantra yang purna bakti (pensiun). Dengan kedatangan Dr. Kickbush, diadakanlah pertemuan dengan pimpinan Depkes dan pertemuan lainnya baik internal penyuluhan kesehatan maupun external dengan lintas program dan lintas sektor, termasuk FKM UI. Bahkan sempat pula mengadakan kunjungan lapangan ke Bandung, yang diterima dengan baik oleh Ibu Neni Surachni (kepala Sub Dinas PKM Jabar waktu itu) dan teman-teman lain di Bandung. Dari serangkaian pertemuan itu serta perbincangan selama kunjungan lapangan ke Bandung, kita banyak belajar tentang Health Promotion (Promosi Kesehatan). Barangkali karena terkesan dengan kunjungannya ke Indonesia, ia kemudian menyampaikan usulan agar Indonesia dapat menjadi tuan rumah Konferensi International Health Promotion yang keempat, yang sebenarnya memang sudah waktunya diselenggarakan.
Usulan itu diterima oleh pimpinan Depkes (Menteri Kesehatan waktu itu Prof. Dr. Suyudi). Kunjungan Dr. Kickbush itu ditindak lanjuti dengan kunjungan pejabat Health Promotion WHO Geneva lainnya, yaitu Dr. Desmond O Byrne, sampai beberapa kali, untuk mematangkan persiapan konferensi Jakarta. Sejak itu khususnya Pusat Penyuluhan Kesehatan Depkes berupaya mengembangkan konsep promosi kesehatan tersebut serta aplikasinya di Indonesia. Sebagai tuan rumah konferensi internasional tentang promosi kesehatan, seharusnyalah kita sendiri mempunyai kesamaan pemahaman tentang konsep dan prinsip-prinsipnya serta dapat mengembangkannya paling tidak di beberapa daerah sebagai percontohan.
Dengan demikian penggunaan istilah promosi kesehatan di Indonesia tersebut dipacu oleh perkembangan dunia internasional. Nama unit Health Education di WHO baik di Headquarter, Geneva maupun di SEARO, India juga sudah berubah menjadi Unit Health Promotion. Nama organisasi profesi internasional juga sudah berubah menjadi International Union for Health Promotion and Education (IUHPE). Istilah promosi kesehatan tersebut juga ternyata sesuai dengan perkembangan pembangunan kesehatan di Indonesia sendiri, yang mengacu pada paradigma sehat.



Strategi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Bertolak dari prinsip-prinsip yang dapat dipelajari tentang Promosi Kesehatan, pada pertengahan tahun 1995 dikembangkanlah Strategi atau Upaya Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (disingkat PHBS), sebagai bentuk operasional atau setidaknya sebagai embrio promosi kesehatan di Indonesia. Strategi tersebut dikembangkan melalui serangkaian pertemuan baik internal Pusat Penyuluhan Kesehatan maupun external secara lintas program dan lintas sektor, termasuk dengan organisasi profesi, FKM UI dan LSM.
Beberapa hal yang dapat disarikan tentang pokok-pokok Promosi Kesehatan (Health Promotion) atau PHBS yang merupakan embrio Promosi Kesehatan di Indonesia ini, adalah bahwa:

  1. Promosi Kesehatan (Health Promotion), yang diberi definisi : Proses pemberdayaan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya (the process of enabling people to control over and improve their health), lebih luas dari Pendidikan atau Penyuluhan Kesehatan. Promosi Kesehatan meliputi Pendidikan/ Penyuluhan Kesehatan, dan di pihak lain Penyuluh/Pendidikan Kesehatan merupakan bagian penting (core) dari Promosi Kesehatan.

  2. Pendidikan/Penyuluhan Kesehatan (dapat dikatakan) menekankan pada upaya perubahan atau perbaikan perilaku kesehatan. Promosi Kesehatan adalah upaya perubahan/perbaikan perilaku di bidang kesehatan disertai dengan upaya mempengaruhi lingkungan atau hal-hal lain yang sangat berpengaruh terhadap perbaikan perilaku dan kualitas kesehatan.

  3. Promosi Kesehatan juga berarti upaya yang bersifat promotif (peningkatan) sebagai perpaduan dari upaya preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan) dalam rangkaian upaya kesehatan yang komprehensif. Promosi Kesehatan juga merupakan upaya untuk menjajakan, memasarkan atau menjual yang bersifar persuasif, karena sesungguhnya “kesehatan” merupakan “sesuatu” yang sangat layak jual, karena sangat perlu dan dibutuhkan setiap orang dan masyarakat.

  4. Pendidikan/penyuluhan kesehatan menekankan pada pendekatan edukatif, sedangkan pada promosi kesehatan, selain tetap menekankan pentingnya pendekatan edukatif yang banyak dilakukan pada tingkat masyarakat di strata primer (di promosi kesehatan selanjutnya digunakan istilah gerakan pemberdayaan masyarakat), perlu dibarengi atau didahului dengan upaya advokasi, terutama untuk strata tertier (yaitu para pembuat keputusan atau kebijakan) dan bina suasana (social suppoprt), khususnya untuk strata sekundair (yaitu mereka yang dikategorikan sebagai para pembuat opini). Maka dikenallah strategi ABG, yaitu Advokasi, Bina Suasana dan Gerakan/pemberdayaan Masyarakat.

  5. Pada pendidikan/penyuluhan kesehatan, masalah diangkat dari apa yang ditemui atau dikenali masyarakat (yaitu masalah kesehatan atau masalah apa saja yang dirasa penting/perlu diatasi oleh masyarakat, now(), now()); Pada PHBS, masyarakat diharapkan dapat mengenali perilaku hidup sehat, yang ditandai dengan sekitar 10 perilaku sehat (health oriented). Masyarakat diajak untuk mengidentifikasi apa dan bagaimana hidup bersih dan sehat, kemudian mengenali keadaan diri dan lingkungannya serta mengukurnya seberapa sehatkah diri dan lingkungannya itu?
    Pendekatan ini kemudian searah dengan paradigma sehat, yang salah satu dari tiga pilar utamanya adalah perilaku hidup sehat. (Sebenarnya ini tidak baru, karena dalam Posyandu, masalah juga sudah difokuskan pada sekitar 5 masalah prioritas).

  6. Pada pendidikan/penyuluhan kesehatan yang menonjol adalah pendekatan di masyarakat (melalui pendekatan edukatif), sedangkan pada PHBS/promosi kesehatan dikembangkan adanya 5 tatanan: yaitu di rumah/tempat tinggal (where we live), di sekolah (where we learn), di tempat kerja (where we work), di tempat-tempat umum (where we play and do everything) dan di sarana kesehatan (where we get health services). Dari sini dikembangkan kriteria rumah sehat, sekolah sehat, tempat kerja sehat, tempat umum sehat, dll yang mengarah pada kawasan sehat seperti : desa sehat, kota sehat, kabupaten sehat, dll sampai ke Indonesia Sehat.

  7. Pada promosi kesehatan, peran kemitraan lebih ditekankan lagi, yang dilandasi oleh kesamaan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling memberi manfaat (mutual benefit). Kemitraan ini dikembangkan antara pemerintah dengan masyarakat termasuk swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat, juga secara lintas program dan lintas sektor.

  8. Sebagaimana pada Pendidikan dan Penyuluhan, Promosi Kesehatan sebenarnya juga lebih menekankan pada proses atau upaya, dengan tanpa mengecilkan arti hasil apalagi dampak kegiatan. Jadi sebenarnya sangat susah untuk mengukur hasil kegiatan, yaitu perubahan atau peningkatan perilaku individu dan masyarakat. Yang lebih sesuai untuk diukur: adalah mutu dan frekwensi kegiatan seperti: advokasi, bina suasana, gerakan sehat masyarakat, dll. Karena dituntut untuk dapat mengukur hasil kegiatannya, maka promosi kesehatan mengaitkan hasil kegiatan tersebut pada jumlah tatanan sehat, seperti: rumah sehat, sekolah sehat, tempat kerja sehat, dst.

Konsep Promosi Kesehatan dan/atau PHBS tersebut selanjutnya digulirkan ke daerah dan beberapa daerah mencoba mengembangkannya paling tidak di beberapa kabupaten.

Konferensi Internasional Health Promotion IV dan Deklarasi Jakarta

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan IV ini terselenggara pada bulan Juli 1997 bertempat di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Konferensi I di Ottawa, Canada (1986) menghasilkan ”Ottawa Charter”, memuat 5 strategi pokok Promosi Kesehatan, yaitu : (1) Mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (healthy public policy, now(), now()); (2) Menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive environment, now(), now()); (3) Memperkuat gerakan masyarakat (community action, now(), now()); (4) Mengembangkan kemampuan perorangan (personnal skills) ; dan (5) Menata kembali arah pelayanan kesehatan (reorient health services).
Konferensi II di Adelaide, Australia (1988), membahas lebih lanjut tentang pengembangan kebijakan yang berwawasan kesehatan, dengan menekankan 4 bidang prioritas, yaitu: (1) Mendukung kesehatan wanita; (2) Makanan dan gizi; (3) Rokok dan alkohol; dan (4) Menciptakan lingkungan sehat. Pada tahun 1989 diadakan pertemuan Kelompok Promosi Kesehatan negara-negara berkembang di Geneva, sebagai seruan untuk bertindak (A call for action). Dalam pertemuan ini ditekankan bahwa 3 strategi pokok promosi kesehatan untuk pembangunan kesehatan: (1) Advokasi Kebijakan (advocacy, now(), now()); (2) Pengembangan aliansi yang kuat dan sistem dukungan sosial (social support, now(), now()); dan (3) Pemberdayaan masyarakat (empowerment).
Selanjutnya pada tahun 1991 diselenggarakan Konferensi ke III di Sundval, Swedia. Konfrensi ini menghasilkan pernyataan perlunya dukungan lingkungan untuk kesehatan. Untuk dukungan ini diperlukan 4 strategi kunci, yakni: (1) Memperkuat advokasi diseluruh lapisan masyarakat; (2) Memberdayakan masyarakat dan individu agar mampu menjaga kesehatan dan lingkungannya melalui pendidikan dan pemberdayaan; (3) Membangun aliansi; dan (4) Menjadi penengah diantara berbagai konflik kepentingan di tengah masyarakat.
Ketiga konferensi internasional tersebut diselenggarakan di negara maju. Timbul pertanyaan apakah promosi kesehatan itu hanya sesuai untuk negara maju saja dan tidak cocok untuk negara berkembang? Untuk membantah keraguan itu, maka konferensi yang ke IV ini diselenggarakan di salah satu negara sedang berkembang. Indonesia memperoleh kehormatan untuk menjadi penyelenggaranya yang pertama.
Konferensi ke IV di Jakarta ini dihadiri oleh sekitar 500 orang dari 78 negara, termasuk sekitar 150 orang Indonesia, khususnya dari daerah. Ini karena konferensi tersebut juga merupakan konferensi nasional promosi kesehatan yang pertama (Selanjutnya nanti ada konferensi nasional kedua di Hotel Bidakara, Jakarta, tahun 2000, dan konferensi nasional ketiga di Yogyakarta, tahun 2003). Konferensi dibuka oleh Presiden RI, Bapak Soeharto, di Istana Negara. Selain pembicara-pembicara internasional, juga tampil pembicara Indonesia, yaitu Prof Dr. Suyudi selaku Menteri Kesehatan, dan Prof. Dr. Haryono Suyono, selain selaku Menteri Kependudukan juga sebagai pakar komunikasi. Pada acara Indonesia Day, tampil pembicara-pembicara dari berbagai program, sektor dan daerah, menyampaikan pengalamannya dalam berbagai kegiatan promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan dalam program atau daerah masing-masing (diselenggarakan dalam sidang-sidang yang berjalan secara serentak/pararel).
Konferensi ini bertema: “New players for a new era: Leading Health Promotion into the 21st century” dan menghasilkan Deklarasi Jakarta, yang diberi nama: “The Jakarta Declaration on Health Promotion into the 21st Century”. Selanjutnya Deklarasi Jakarta ini memuat berbagai hal, antara lain sebagai berikut:

  • Bahwa Konferensi Promosi Kesehatan di Jakarta ini diselenggarakan hampir 20 tahun setelah Deklarasi Alma Ata dan sekitar 10 tahun setelah Ottawa Charter, serta yang pertama kali diselenggarakan di negara sedang berkembang dan untuk pertama kalinya pihak swasta ikut memberikan dukungan penuh dalam konferensi.

  • Bahwa Promosi Kesehatan merupakan investasi yang berharga , yang mempengaruhi faktor-faktor penentu di bidang kesehatan guna mencapai kualitas sehat yang setinggi-tingginya.

  • Bahwa Promosi Kesehatan sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dan perubahan faktor penentu kesehatan. Berbagai tantangan tersebut seperti: adanya perdamaian, perumahan, pendidikan, perlindungan sosial, hubungan kemasyarakatan, pangan, pendapatan, pemberdayaan perempuan, ekosistem yang mantap, pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan, keadilan sosial, penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia, dan persamaan, serta kemiskinan yang merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan, selain masih banyak ancaman lainnya.

  • Bahwa untuk menghadapi berbagai tantangan yang muncul terhadap kesehatan diperlukan kerjasama yang lebih erat , menghilangkan sekat-sekat penghambat, serta mengembangkan mitra baru antara berbagai sektor, di semua tingkatan pemerintahan dan lapisan masyarakat.

  • Bahwa prioritas Promosi Kesehatan abad 21 adalah :
    1. Meningkatkan tanggungjawab sosial dalam kesehatan;

    2. Meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan;

    3. Meningkatkan kemitraan untuk kesehatan;

    4. Meningkatkan kemampuan perorangan dan memberdayakan masyarakat;

    5. Mengembangkan infra struktur promosi kesehatan.

  • Selanjutnya menyampaikan himbauan untuk bertindak, dengan menyusun rencana aksi serta membentuk atau memperkuat aliansi promosi kesehatan di berbagai tingkatan, mencakup a.l. : (1) Membangkitkan kesadaran akan adanya perubahan faktor penentu kesehatan; (2) Mendukung pengembangan kerjasama dan jaringan kerja untuk pembangunan kesehatan; (3) Mendorong keterbukaan dan tanggungjawab sosial dalam promosi kesehatan.


Era Paradigma Sehat: Visi dan Misi Promosi Kesehatan

Pada tahun 1998 Presiden Soeharto digantikan oleh Presiden Habibie. Sebagai Menteri Kesehatan ditetapkan Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek. Setelah melalui persiapan antara lain pertemuan dengan para pakar, pertemuan nasional dengan daerah-daerah, pertemuan lintas sektor dan dengar pendapat dengan DPR, pada 1 Maret 1999 oleh Presiden Habibie dicanangkan : “Gerakan Pembangunan yang Berwawasan Kesehatan”, atau dikenal dengan “Paradigma sehat”. Sebagai konsekwensinya adalah bahwa semua pembangunan dari semua sektor harus mempertimbangkan dampaknya di bidang kesehatan, minimal harus memberi kontribusi dan tidak merugikan pertumbuhan lingkungan dan perilaku sehat. Disebutkan bahwa visi pembangunan kesehatan adalah: Indonesia Sehat 2010, dengan misi: (1) Menggerakkan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan; (2) Mendorong kamandirian masyarakat untuk hidup sehat; (3) Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; dan (4) Meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat termasuk lingkungannya. Salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 tersebut adalah : perilaku sehat, disamping dua pilar lainnya yaitu: lingkungan sehat dan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata.
Ditetapkan pula strategi pembangunan kesehatan beserta program-program pokoknya. Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) disebutkan bahwa salah satu program pokok pembangunan kesehatan adalah peningkatan perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat, yang karenanya menempatkan promosi kesehatan sebagai salah satu program unggulan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan Rencana Strategis (Renstra) Depkes 2005-2009 juga disebutkan bahwa Promosi Kesehatan merupakan program tersendiri dan diposisikan pada urutan pertama. Ini menegaskan bahwa Paradigma Sehat dengan Visi Indonesia Sehat-nya tersebut sangat sesuai dengan Deklarasi Jakarta, dan dengan demikian promosi kesehatan (termasuk PHBS), yang berorientasi pada perilaku hidup sehat, semakin memperoleh pijakan yang kuat.
Selanjutnya masing-masing program termasuk Promosi Kesehatan menyusun visi, misi dan program kegiatannya, serta sasaran atau target yang harus dapat terukur. Dalam kaitan itu ditetapkan Visi Promosi kesehatan yaitu : Berkembangnya masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Misinya adalah: (1) Melakukan advokasi kebijakan publik yang berdampak positif pada kesehatan; (2) Mensosialisasikan pesan-pesan kesehatan; (3) Mendorong gerakan-gerakan sehat di masyarakat; Strategi pokok Promosi Kesehatan disingkat ABG, yaitu :
(1) Advokasi, yaitu upaya untuk mempengaruhi kebijakan agar memberikan kontribusi pada pertumbuhan perilaku dan lingkungan sehat; (2) Bina Suasana, yaitu upaya pembentukan opini publik untuk mengembangkan norma hidup sehat; dan (3) Gerakan pemberdayaan masyarakat, yaitu upaya untuk menggerakkan dan memberdayakan semua komponen masyarakat untuk hidup sehat.
Dari visi, misi dan strategi tersebut direncanakan delapan kegiatan pokok, yaitu: (1) Upaya advokasi; (2) Pembinaan suasana; (3) Pemberdayaan masyarakat; (4) Pengembangan kemitraan; (5) Pengembangan SDM; (6) Pengembangan Iptek Promosi Kesehatan; (7) Pengembangan media dan sarana; (8) Pengembangan infra struktur Promosi kesehatan.
Visi, misi, strategi, kegiatan pokok beserta rincian kegiatan dan tolok ukurnya dan lain-lainnya dituangkan dalam pendoman tehnis Program Promosi Kesehatan. Kemudian hari dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, pedoman tersebut dukukuhkan dengan SK Menteri Kesehatan RI menjadi Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan.



Promosi Kesehatan Di Era Reformasi Dan Desentralisasi

Lahirnya semangat reformasi yang ditingkahi dengan terjadinya pergantian pemerintahan pada tahun 1998 telah membawa perubahan fundamental dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Angin reformasi yang bertiup kencang sejak lengsernya Presiden Soeharto memperoleh wadahnya dalam sidang-sidang MPR, yang merupakan lembaga tertinggi negara. Akhirnya dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, sesuatu yang “diharamkan” pada era sebelumnya. Amandemen tersebut bahkan dilakukan beberapa kali, antara lain menyangkut tentang penghapusan lembaga Dewan Pertimbangan Agung, dibentuknya Mahkamah Konstitusi, ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung oleh rakyat, dll.
Salah satu perubahan yang mendasar adalah bergantinya sistem pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi, atau otonomi daerah. Semangat inilah yang mengilhami diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diberlakukan pada tahun 2001. Sesuai dengan UU tersebut, maka Gubernur, Bupati dan Walikota kini dipilih langsung oleh rakyat dan karenanya mempunyai kewenangan yang sangat menentukan, termasuk dalam penentuan organisasi daerah, jabatan dan personilnya. Sementara itu lembaga legislatif, baik DPR di Pusat maupun DPRD di daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar (bahkan sangat besar) dalam penyusunan anggaran keuangan baik Pusat maupun Daerah. Berkaitan dengan itu, partai-partai politik mempunyai peranan yang sangat menentukan, melalui wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan (ekskutif) dan lembaga perwakilan (legislatif), baik di Pusat maupun di daerah.
Untuk mengantisipasi hal ini Departemen Kesehatan dalam hal ini Promosi Kesehatan menyelenggarakan pertemuan dengan Bupati dan Walikota seluruh Indonesia pada bulan Juli 2000 yang menyepakati tentang perlunya perhatian Daerah secara lebih sungguh-sungguh terhadap program kesehatan, kelembagaan, ketenagaan serta anggaran yang mendukungnya. Berbagai pertemuan khusus untuk menjelaskan dan mendiskusikan tentang Paradigma Sehat dan Visi Indonesia sehat 2010 juga diselenggarakan kepada partai-partai politik dan anggota DPR kkhususnya komisi yang mengurusi bidang kesehatan.
Demikian pula dengan tujuan yang sama beberapa kali pertemuan khusus juga digelar di daerah, paling tidak di beberapa propinsi, seperti Banten, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Sumatera Barat, dll. Belum lagi panduan tertulis tentang penanganan program-program kesehatan termasuk promosi kesehatan di daerah.
Selanjutnya dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah, setelah dilakukan pembahasan dan sosialisasi dengan daerah, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Stándar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Salah satu SPM bidang kesehatan tersebut adalah tentang Penyuluhan perilaku sehat, yang harus mencakup setidaknya: Rumah tangga sehat (65%) dan Desa Posyandu Purnama (40%). Selain itu juga ditetapkan bahwa promosi kesehatan merupakan salah satu pelayanan yang wajib dilakukan di Puskesmas.



Pengembangan Jaringan Dan Kemitraan

Pada era ini juga ditandai dengan berkembangan jaringan (networking) dan kemitraan (partnership) antara unit promosi kesehatan dengan berbagai pihak, baik sektor pemerintah maupun swasta dan masyarakat, baik regional maupun global.
Secara nasional dapat disebutkan a.l. : (1) Forum Komunikasi Promosi Kesehatan, yang anggotanya adalah unit atau lembaga (pemerintah dan masyarakat) yang peduli dengan upaya promosi kesehatan; (2) Koalisi Indonesia Sehat (anggota: berbagai unit pemerintah dan swasta serta masyarakat yang peduli pada Indonesia Sehat, now(), now()); (3) Forum Komunikasi Penanggulangan Masalah Tembakau (anggota: unit, organisasi profesi dan lembaga peduli masalah rokok/tembakau, now(), now()); (4) Jaringan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular; (5) Dan lain-lain, seperti: Forum Pengembangan Kota Sehat, Forum Penanggulangan Penyakit TBC, dll.
Secara regional dan global dapat disebutkan: Mega country Health Promotion Network, yaitu jaringan sekitar 10 negara di dunia yang berpenduduk 100 juta lebih dalam bidang promosi kesehatan; International Network for Health Promotion Foundation (Indonesia diwakili oleh Unit Promkes sebelum mempunyai Yayasan Promosi Kesehatan yang mandiri, now(), now()); International Union for Health Promotion and Education (organisasi profesi Promosi kesehatan yang bersifat internasional), dll. Dalam kaitan itu diselenggarakan beberapa kali pertemuan internasional (di Geneva, Jakarta, Meksiko, Bangkok, Melbourne, dll).
Dalam rangka pengembangan jaringan dan kemitraan itu maka sejak tahun 2000, penyelenggaraan Hari Kesehatan Nasional dilakukan bersama oleh swasta dan sektor di luar Depkes, sedangkan Depkes dalam hal ini Promosi Kesehatan berperan sebagai sekretariatnya. Dengan penyelenggaraan oleh swasta itu terasa bahwa Hari Kesehatan lebih bergema. Demikianlah maka sejak tahun 2000, pada setiap acara puncak HKN Presiden RI (yaitu Gus Dur, Mbak Mega dan Pak SBY) selalu hadir dan menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang diliput oleh media massa secara luas.



SKN 2004 dan Promosi Kesehatan

Pada tahun 2004 oleh Menteri Kesehatan (Dr. Achmad Sujudi) ditetapkanlah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang baru, sebagai pengganti SKN lama (tahun 1982). SKN baru ini dimaksudkan antara lain untuk mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai visi dan misinya.
Disebutkan bahwa SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan pada hakekatnya SKN adalah juga merupakan wujud dan sekaligus metode penyelenggaraan pembangunan kesehatan, yang memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tujuan pembangunan kesehatan. Sedangkan tujuannya adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Apa kaitannya dengan Promosi Kesehatan? Dalam SKN tersebut disebutkan adanya 7 prinsip dasar. Prinsip ke 4 adalah Prinsip Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat, dan prinsip ke 5 adalah Prinsip Kemitraan. Tanpa mengurangi arti upaya kesehatan lainnya, kedua prinsip tersebut sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup upaya promosi kesehatan. Selain itu SKN ini terdiri 6 subsistem, salah satunya adalah; Subsistem Pemberdayaan Masyarakat. Disebutkan bahwa Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya perorangan, kelompok dan masyarakat umum di bidang kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sedangkan tujuannya adalah terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi dan pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan dsn seterusnya. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat dengan segala uraiannya itu tentu saja merupakan ranah (domein) Promosi Kesehatan.



Promosi Kesehatan Pada Program-program Kesehatan

Sebenarnya pada setiap program kesehatan ada komponen promosi kesehatannya, karena semua masalah kesehatan mengandung komponen perilaku. Namun karena keterbatasan sumberdaya, pada kurun waktu ini secara nasional, promosi kesehatan terbatas pada beberapa program prioritas saja. Program-program kesehatan tersebut adalah: Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak (Khususnya Pertolongan persalinan dan Penggunaan ASI Eklusif), Peningkatan Gizi Keluarga dan Masyarakat (termasuk GAKY), Kesehatan Lingkungan (khususnya penggunaan air bersih, penggunaan toilet/jamban, mencuci tangan dengan sabun), Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (khususnya Aktivitas fisik, makan gizi seimbang dan masalah merokok), Penanggulangan penyalahgunaan NAPZA, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Di daerah, prioritas program tersebut disesuaikan dengan keadaan, masalah dan potensi daerah.
Selain itu juga dilakukan promosi kesehatan untuk mendukung beberapa program khusus. Sebagai contoh adalah kampanye Pekan Imunisasi Nasional (dalam rangka penanggulangan polio). Demikian pula dalam penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan promosi kesehatan secara lintas sektoral, juga dalam menghadapi SARS. Selain itu dilakukan pula promosi kesehatan dalam rangka penanggulangan masalah tembakau, promosi penggunaan obat generik, dll. Perlu diakui bahwa masih banyak promosi kesehatan untuk berbagai program kesehatan lainnya yang belum dapat tertangani.



Era Globalisasi Dan Promosi Kesehatan

Kurun waktu 2000 an ini juga merupakan era globalisasi. Batas-batas antar negara menjadi lebih longgar. Persoalan menjadi lebih terbuka. Berkaitan dengan era globalisasi ini dapat menimbulkan pengaruh baik positif maupun negatif. Di satu pihak arus informasi dan komunikasi mengalir sangat cepat. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Dunia menjadi lebih terpacu dan maju. Di pihak lain penyakit menular yang ada di satu negara dapat menyebar secara cepat ke negara lain apabila negara itu rentan atau rawan. Misalnya AIDS, masalah merokok, penyalahgunaan NAPZA, dll sudah menjadi persoalan dunia. Demikian pula budaya negatif di satu bangsa/negara dengan cepat juga dapat masuk dan mempengaruhi budaya bangsa/negara lain.
Sementara itu khususnya di bidang Promosi Kesehatan, dalam era globalisasi ini Indonesia memperoleh banyak masukan dan perbandingan dari banyak negara. Melalui berbagai pertemuan internasional yang diikuti, setidaknya para delegasi memperoleh inspirasi untuk mengembangkan promosi kesehatan di Indonesia. Beberapa pertemuan itu adalah sebagai berikut :

  1. Konferensi Internasional Promosi Kesehatan. Konferensi ini bersifat resmi, para utusannya diundang oleh WHO dan mewakili negara. Selama kurun waktu 1995-2005 ada tiga kali konferensi internasional, yaitu: the 4th International Conference on Health Promotion, Jakarta, 1997, the 5th International Conference on Health Promotion, Mexico City, 2000, dan the 6th Global Conference on Health Promotion, Bangkok, 2005. Pada pertemuan di Bangkok istilah International Conference diganti dengan Global Conference, a.l. karena dengan istilah “Global” tersebut menunjukkan bahwa sekat-sekat antar negara menjadi lebih tipis dan persoalan serta solusinya menjadi lebih mendunia. Menkes RI yang hadir pada konferensi di Jakarta adalah Prof. Dr. Suyudi yang juga menjadi pembicara kunci pada konferensi tersebut; di Mexico City: Dr. Achmad Suyudi, yang juga menjadi salah satu pembicara kunci dan bersama para menteri kesehatan dari negara-negara lain ikut menandatangani “Mexico Ministerial Statements on health Promotion”; dan yang hadir di Bangkok adalah Drs. Richard Panjaitan, Staf Ahli yang mewakili Menteri Kesehatan yang harus berada di tanah air menjelang peringatan proklamasi kemerdekaan RI. Konferensi di Bangkok ini menghasilkan “The Bangkok Charter”. Ketiga konferensi tersebut baik proses maupun hasil-hasilnya memberikan sumbangan yang bermakna dalam perkembangan promosi kesehatan di Indonesia.

  2. Konferensi internasional Promosi dan Pendidikan Kesehatan. Konferensi ini bersifat keilmuan. Utusannya datang atas kemauan sendiri dengan mendaftar lebih dahulu. Penyelenggaranya adalah Organisasi Profesi, yaitu International Union for Health Promotion and Education. Dalam kurun waktu ini sebenarnya ada empat kali pertemuan, tetapi Indonesia hanya hadir di tiga pertemuan yaitu di Ciba, Jepang, tahun 1995, di Paris, Perancis, tahun 2001, dan Melbourne, Australia, 2004. Indonesia tidak hadir pada pertemuan di Pourtorico, tahun 1998, karena situasi tanah air yang tidak memungkinkan untuk pergi. Dengan mengikuti konferensi seperti ini, selain menambah wawasan dan gagasan, juga menambah teman dan jaringan.

  3. Pertemuan-pertemuan WHO tingkat regional dan internasional. Pertemuan seperti ini biasanya diikuti oleh kelompok terbatas, antara 20-30 orang. Sifatnya merupakan pertemuan konsultasi atau juga pertemuan tenaga ahli (expert). Pesertanya adalah utusan yang mewakili unit Promosi Kesehatan di masing-masing negara, atau perorangan yang dianggap ahli, yang diundang oleh WHO. Dalam kurun waktu 1995-2005 beberapa kali diselenggarakan pertemuan konsultasi di New Delhi, India, di Bangkok, Thailand, di Jakarta, Indonesia, dan beberapa kali di Genewa, Swis, khususnya dalam kaitannya dengan Mega Country Health Promotion Network. Pertemuan-pertemuan seperti ini juga memacu perkembangan promosi kesehatan di Indonesia. Khusus dalam Mega country network ini diupayakan penanggulangan penyakit tidak menular secara bersama melalui upaya aktivitas fisik, makan gizi seimbang dan tidak merokok.

  4. Pertemuan regional ASEAN. Pertemuan ini diselenggarakan oleh negara-negara anggota ASEAN. Pertemuan seperti ini diselenggarakan beberapa kali, tetapi yang menyangkut promosi kesehatan diselenggarakan pada tahun 2002 di Vientiane, Laos. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Vientiane atau Kesepakatan Menteri Kesehatan ASEAN tentang “Healthy ASEAN Lifestyle” (antara lain ditandatangani oleh Dr. Achmad Suyudi selaku Menkes RI) yang pada pokoknya merupakan kesepakatan untuk mengintensifkan upaya-upaya regional untuk meningkatkan gaya hidup sehat penduduk ASEAN. Dalam kesepakatan itu ditetapkan antara lain tentang visinya, yaitu bahwa pada tahun 2020 semua penduduk ASEAN akan menuju kehidupan yang sehat, sesuai dengan nilai, kepercayaan dan budaya lingkungannya.

  5. Pertemuan-pertemuan internasional atau regional lainnya, seperti: International Conference on Tobacco and Health di Beijing, 1997; International Conference on Working Together for better health di Cardiff, UK, 1998; dan masih banyak pertemuan lainnya, misalnya tentang HIV/AIDS di Bangkok, Manila, dll; pertemuan tentang kesehatan lingkungan di Nepal; pertemuan tentang Health Promotion di Bangkok, di Melbourne, dll. Ini semua memperkuat jaringan dan semakin memantapkan langkah di Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga banyak menerima kunjungan persahabatan dari negara-negara sahabat, kebanyakan dari negara-negara yang sedang berkembang seperti dari Bangladesh, India, Myarmar, Sri Langka, Maladewa (Maldives) dan beberapa negara di Afrika. Dalam kesempatan diskusi di kelas maupun kunjungan lapangan, mereka juga sering memberi masukan dan perbandingan tentang kegiatan promosi kesehatan.

Promosi kesehatan melalui berbagai media

Sebagaimana upaya promosi pada umumnya, Promosi kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan upaya untuk mempromosikan atau menjajagakan sesuatu yang berupa kesehatan. Kesehatan memang sesuatu yang sebenarnya sangat diperlukan oleh masyarakat, tetapi masyarakat belum banyak yang memandangnya sebagai prioritas. Maka benar sekali ungkapan Dr. Mahler, Dirjen WHO pada sekitar tahun 1985-an bahwa: “Health is not everything, but without health everything else is nothing”. Selain itu kesehatan juga merupakan karunia Tuhan yang perlu disyukuri. Karenanya perlu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. Oleh karena itu seharusnya diperlukan promosi yang gencar untuk menjajakan kesehatan itu.
Upaya mempromosikan kesehatan itu antara lain dilakukan melalui berbagai media. Baik media cetak, elektronik maupun media luar ruang. Dalam hal ini media diposisikan sebagai sarana untuk membuat suasana yang kondusif terhadap perubahan perilaku yang positif terhadap kesehatan. Dalam bahasa promosi kesehatan, upaya tersebut disebut dengan: “bina suasana”.
Melalui media cetak telah dikembangkan berbagai leaflet, brosur, poster, kalender, dan lain-lain. Setiap tahun unit Promosi Kesehatan memproduksinya, terutama sebagai semacam “proto type” agar dapat dikembangkan lebih lanjut oleh daerah atau unit yang lain yang memerlukannya, sesuai dengan keadaan, masalah dan potensi setempat.Juga dikembangkan “Logo Indonesia Sehat” yang dihasilkan melalui lomba. Dalam rangka memfasilitasi penyelenggaraan promosi kesehatan di daerah, disusunlah berbagai panduan, seperti: Panduan advokasi, panduan bina suasana, panduan pemberdayaan masyarakat dan panduan pengembangan kemitraan.
Selain itu Pusat Promosi Kesehatan juga menerbitkan majalah: “Interaksi” yang terbit 3-4 kali setahun. Majalah itu merupakan forum untuk tukar menukar informasi, baik yang berkaitan dengan ide/gagasan (disebut inter ide) , maupun hal-hal lain (melalui rubrik: inter nest, inter info, inter fokus, inter kajian, inter program, inter studi, inter etika, inter iman, dll). Alamat email redaksi majalah Interaksi adalah: interaksi@hotmail.com, atau promkes@depkes.go.id. Kemudian juga ada majalah khusus GAKY, yang berkaitan dengan informasi tentang Penanggulangan GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium),
Selanjutnya melalui media luar ruang, dikembangkan prototype baliho, misalnya mengenai Garam Yodium, Penanggulangan Masalah Rokok, dll. Beberapa pesan tentang masalah rokok sampai sekarang masih terpampang di halaman parkir dan pintu masuk Dep-kes. Mobil jemputan pegawai Depkes yang melewati jalan-jalan utama Jakarta juga pernah dipasangi pesan-pesan kesehatan. Dan setiap Hari Kesehatan Nasional dan hari-hari tertentu lainnya, Pusat Promosi Kesehatan bekrjasama dengan pihak-pihak lain juga menyelenggarakan pameran kesehatan.
Sedangkan melalui media elektronik, dilakukan promosi atau bina suasana melalui televisi, radio, dll. Antara lain sinetron Kupu-kupu ungu (13 episode) dan beberapa film lepas yang sudah disampaikan pada bab IV. Selanjutnya juga dilakukan penyampaian pesan melalui ”radio spot”, ”TV spot” atau ”filler” mengenai berbagai macam program. Salah satunya yang cukup terkenal pada waktu itu adalah dengan judul: ”Jangan Lupa” yang disampaikan oleh Butet Kertajaya dengan kocaknya. Juga diproduksi filler tentang Penanggulangan GAKY, Ibu Hamil, Napza/Narkoba, Gizi, Gaya Hidup Sehat, dll, serta khususnya tentang Pekan Imunisasi Nasional yang dibawakan oleh kelompok Rano Karno dan Mandra dengan sangat kocaknya.
Sebagaimana disampaikan pada bab IV, pesan-pesan kesehatan yang disebar luaskan melalui media televisi itu beberapa cukup berhasil membina suasana dan mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu. Namun beberapa juga ada yang kurang mendapat sambutan masyarakat. Pada umumnya orang tahu bahwa tayangan melalui teleivisi itu biayanya sangat mahal. Sementara itu pada saat ini pilihan saluran TV cukup banyak, sehingga upaya penyebar luasan informasi melalui televisi ini perlu dihitung dengan cermat plus minusnya.
Selanjutnya juga diproduksi kaset dan VCD, berisi lagu, film atau pesan lainnya, yang kemudian disebar luaskan ke daerah dan media. Dikembangkan pula pesan melalui internet, dengan kode: www.promosikesehatan.com, dan untuk interaksi dapat digunakan email dengan kode: pa@promosikesehatan.com.



Profil Promosi Kesehatan 2003

Promosi Kesehatan adalah upaya yang menekankan pada proses dengan tetap memperhatikan hasil (the process as well as content). Beberapa hal yang dapat dicatat sebagai profil promosi kesehatan, secara rinci dapat dilihat di buku : Profil Promosi Kesehatan 2003, sedangkan secara garis besar adalah sebagai berikut:

  1. Dalam upaya advokasi, telah dihasilkan beberapa keputusan yang menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan: “social enforcement” garam beryodium, kawasan tanpa rokok, kabupaten/kota sehat, program langit biru, dll. Selain itu sekitar 20 provinsi juga telah mengeluarkan Surat Keputusan atau Edaran yang berkaitan dengan PHBS, garam yodium, penanggulangan AIDS, Kawasan Tanpa Rokok, dll.

  2. Dalam upaya bina suasana atau pembentukan opini masyarakat untuk membudayakan perilaku sehat telah dilakukan penyebaran informasi kesehatan, melalui media televisi, radio, media cetak, pameran, media luar ruang lainnya, penyuluhan melalui mobil-mobil unit penyuluhan dan penyuluhan melalui kelompok dan diskusi interaktif. Penyebaran informasi kesehatan itu dilakukan baik di Pusat maupun Daerah, tentang berbagai topik, masalah atau program kesehatan, seperti: GAKY, AIDS, Gaya Hidup Sehat, dll, termasuk kampanye tentang penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi.

  3. Dalam upaya pengembangan perilaku hidup sehat, 30 provinsi melaporkan telah mengembangkan PHBS di berbagai tatanan: jumlah kumulatifnya sebanyak 7.5 juta lebih di tatanan rumah tangga, 53 ribu lebih di tatanan sekolah (SD, SMP, SMU), 260 ribu lebih di tempat kerja (kantor pemerintah, kantor swasta, pabrik), 26 ribu lebih di tatanan tempat umum (terminal, pelabuhan, pasar), dan 5 ribu lebih di tatanan sarana kesehatan (pemerintah dan swasta).

  4. Dalam upaya peningkatan kemitraan untuk meningkatkan efektivitas dsan efisiensi upaya promosi kesehatan, dilakukan berbagai kegiatan, seperti: reorientasi LSM termasuk di provinsi, sosialisasi Indonesia Sehat ke partai politik, organisasi kemasyarakatan dan wartawan, pertemuan-pertemuan lintas program dan lintas sektor, juga berbagai pertemuan bersama LSM, Sektor Swasta, Organisasi Profesi, Ormas Kepemudaan, Ormas Wanita, Ormas Keagamaan, dll.

  5. Pengembangan SDM Promosi Kesehatan, baik bagi pengelola program maupun pelaksana di lapangan, termasuk tokoh masyarakat dan kader. Dalam kaitan itu pada tahun 2002 tercatat ada 54 tenaga promosi kesehatan di Pusat dan beberapa daerah mengikuti pendidikan formal (D3, S1 dan S2). Sedangkan tenaga yang mengikuti pelatihan tentang promkes dalam tahun 2002 itu tidak kurang dari 600 orang, berasal dari Pusat dan sedikitnya dari 20 provinsi. Selain itu juga telah ditetapkan sebanyak 856 orang tenaga jabatan profesional penyuluh kesehatan (98 orang ahli dan 758 orang terampil), baik di Pusat maupun di daerah.


  6. Dalam upaya pengembangan metode dan teknik promosi kesehatan, antara lain dihasilkan: Promosi kesehatan (Promkes) di kawasan pariwisata, Promkes di perusahaan, Promkes dalam era desentralisasi, Promkes dalam pemberdayaan keluarga, Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Promkes di pondok pesantren, Pengembangan Kota Sehat, Pemanfaatan Dana Sosial dan Keagamaan untuk Kesehatan, dll.

    Yang juga perlu disebutkan di sini adalah: Pengembangan Sistem Surveilans Perilaku Beresiko Terpadu (yang dipandang sebagai surveilans generasi kedua, setelah surveilans penyakit) dan Pengembangan Sistem Informasi PHBS di berbagai tatanan.
  7. Pengembangan media dan sarana promkes, antara lain pengembangan studio mini dan mobil unit penyuluhan di Pusat dan 5 provinsi proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi beserta sarana kelengkapannya, serta berbagai prototype media di Pusat untuk kemudian dikembangkan di daerah. Dikembangkan pula media interaksi baik melalui majalah tiga bulanan maupun melalui internet.

  8. Pengembangan infra struktur khususnya yang menyangkut organisasi dan kelembagaan, serta penganggaran, hasilnya mengalami pasang surut. Demikian pula yang terjadi di daerah, ada yang muncul dan ada yang terintegrasi dengan unit lain, sesuai dengan potensi, keadaan dan perkembangan di daerah. Di beberapa daerah juga dibentuk Badan Koordinasi Promosi Kesehatan Provinsi, seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Jawa Barat, DIY dan Lampung.


Selain itu dapat disampaikan bahwa pengembangan anggaran biaya untuk kegiatan promosi kesehatan selama ini mengalami fluktuasi. Pada awal Repelita I sampai VI tersedia dana melalui APBN termasuk bantuan luar negeri yang jumlahnya belum memadai. Namun belakangan ini pada masa reformasi terjadi peningkatan anggaran yang cukup besar, baik yang berasal dari APBN maupun APBD bagi daerah otonom.

Promosi Kesehatan Berjalan di tempat?

Pada era promosi kesehatan dalam kurun waktu 1995-2005 ini, nampaknya banyak yang dilakukan, tetapi hasilnya perlu banyak diberi tanda tanya. Visi Indonesia Sehat belum bergema. Paradigma Sehat baru di tataran konsep dan retorika. Kenyataan sehari-hari masih kental dengan paradigma lama. Dalam pembangunan kesehatan, promosi Kesehatan belum memberikan sumbangan nyata. Berbagai gerakan masyarakat yang telah dicanangkan Presiden, misalnya Gerakan Jumat Bersih, tidak berjalan sesuai rencana. Beberapa kesepakatan juga belum ditindak lanjuti secara nyata. Forum jejaring dengan para mitra belum optimal perkembangannya. Tenaga Promkes juga masih belum profesional sepenuhnya. Di daerah tenaga promkes banyak yang harus mutasi secara terpaksa atau harus pindah posnya. Yang jelas: Masyarakat miskin belum dapat dientaskan dari derita. Sedangkan masyarakat lainnya masih jauh dari budaya sehat, hidup yang produktif dan sejahtera.
Apabila ditelaah, mengapa demikian? Banyak pakar menyoroti bahwa dalam kurun waktu sekitar tahun 2000an itu bangsa kita kurang mempunyai spirit perjuangan. Kita banyak terpaku dengan proyek dan anggaran. Ada juga pakar yang menyatakan bahwa sedikitnya 30 % anggaran bocor di tengah jalan. Dari sekian banyak kegiatan hanya sedikit sekali yang benar-benar langsung dan memberikan perhatian kepada rakyat kecil di lapangan. Dengan demikian kepentingan masyarakat khususnya rakyat miskin banyak terabaikan. Keadaan seperti itu juga berpengaruh pada kegiatan promosi kesehatan. Informasi sederhana yang seharusnya sangat diperlukan rakyat agar dapat hidup sehat, kurang mereka dapatkan. Bimbingan lapangan bagaimana agar dapat berperilaku sehat dan terhindar penyakit, kurang mereka rasakan. Banyak masyarakat masih berkutat dengan berbagai faktor yang sangat mempengaruhi kesehatan, seperti pendidikan, keamanan, dan lain-lain terutama kemiskinan.
Selain itu juga harus diakui bahwa promosi kesehatan masih kurang sigap dalam menghadapi peluang dan kesempatan. Konsistensi kegiatan juga sering terabaikan. Prioritas kegiatan juga sering tidak memperoleh kejelasan. Belum lagi etos kerja petugas yang masih perlu terus menerus ditingkatkan. Dengan demikian banyak masalah yang belum terselesaikan dan tantangan yang belum memperoleh jawaban.
Maka apakah promosi kesehatan hanya berjalan di tempat saja? Atau bahkan menurun jalannya? Semoga saja tidak demikian kenyataannya. Karena kita semua telah berbuat! Konon yang sangat penting adalah selalu usaha dan berbuat, atau proses itu! Tentang hasil, kita serahkan kepada halayak dan Tuhan! (betul,betul,betul) Yang penting lagi bahwa semuanya itu merupakan pembelajaran untuk dapat ditarik makna dan hikmahnya. Paling tidak masih mempunyai impian, karena mimpi itu juga merupakan harapan dan cita-cita.(amin...amin.amin) Kalau tidak mempunyai mimpi, sebagaimana disampaikan di awal bab ini, jangan-jangan nanti kita tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan tidak tahu akan menuju ke mana.nauzubillahiminzalik...


referensi :

www.promosikesehatan.com